Hujan Empat Sahabat



 Mini Cerita
 Ilustrasi gambar oleh +Korekgraphy 

Hujan telah membawanya kembali pada ingatan masa lalunya. Baginya, kehidupan yang sekarang semuanya adalah produk sejarah. Begitupun ia. Dari masa lalu itu yang telah membuatnya seperti sekarang ini. Ia telah merasakan segala hal yang membuatnya bisa bertahan. Sampai kapanpun ia akan tetap mengingatnya. Katanya, ia seperti melihat dirinya yang sesungguhnya pada masa itu, bukan seperti ia yang saat ini. Baginya, ia telah banyak berubah. Bukan hanya karena waktu, tetapi karena orang-orang yang silih berganti satu per satu dalam hidupnya.
            Dulu, ia sempat terpuruk dan putus asa semenjak berpisah dengan orang-orang yang ia cintainya. Nenek, saudara, sahabat, tetangga, sampai orang yang ia tidak kenal sekalipun. Ia merasa hidup hanya menambah lara, apalagi dengan kesendirian seperti itu. Namun, perlahan ia coba yakini hatinya sendiri untuk tidak lemah akan perasaan kesendirian itu.
            Pikirannya seperti terbuat dari partikel-partikel inti atom yang membuatnya sangat kritis dengan keadaan di sekelilingnya. Dari nyata sampai yang abstrak sekalipun. Ia memang pria yang punya pemikiran cukup jenius. Bahkan, ia sendiri kadang tidak mengerti dengan apa yang sedang ia pikirkan. Tapi ia sadar betul, hanya dengan berpikirlah dunia bisa ia gambarkan dalam dirinya. Baginya, ia sudah dirancang khusus sebagai pemikir. Dan ia tanamkan itu di dalam batinnya.
            Karya-karya yang ia cipta tidak lain lahir dari hasil pemikirannya sendiri. Ia mempunyai sudut pandang tidak mudah ditebak, bahkan olehnya sendiri. Karena untuknya, apa yang sedang terlintas di kepala baiknya segera ditulis sebelum semuanya akan benar-benar hilang. Ia sangat menghargai alam idea, baik ide yang tersusun matang maupun ide yang datang tiba-tiba tidak pernah ia sia-siakan. Ide yang sama itu tidak datang dua kali, katanya.
            Ia punya banyak cerita indah saat hujan. Itulah mengapa kala musim hujan tiba, ia selalu mengenangnya kembali. Menurutnya, tidak ada ingatan yang mesti dihapus, karena itu hanya akan membuat rancu sejarah. Dan ia tidak ingin kisah sejarah hidupnya terpotong-potong. Ia memang selalu bermimpi bila suatu saat ia akan masuk dalam buku sejarah bangsa dan dunia. Dan ia tengah menatanya kini dengan pilihan hidupnya menjadi sastrawan yang mencintai dunia sosial.
            2006. Tahun dimana ia mulai memasuki dunia imajinasinya yang luar biasa. Sahabat adalah sumber inspirasi terbesarnya saat itu. Sahabat-sahabatnya yang memberinya ruang untuk menjadi dirinya  sendiri. Ia begitu mencintai sahabatnya. Sahabat adalah segalaya, katanya. Apapun takkan menggantikan mereka, apapun.
            Pertengahan tahun 2006 adalah titik balik hidupnya. Musim hujan tiba. Pikirannya seperti tercekik. Berpikir,  terus berpikir, tidak ingin berhenti. Ada yang sebentar lagi akan pergi darinya, terenggut darinya. Sahabatnya, kisah indahnya. Seperti sebuah keharusan yang mesti dijemput.  Ini bukan mengenai waktu, tetapi keadaan yang menggarisi segalanya.
            Juni 2006, hatinya, jiwanya, hidupnya, menjadi rancu, menjadi pilu. Ia tak ingin hari itu ada.. ia tak menghendaki hari itu terjadi. Sabtu, 9. Himne guru, Perpisahan, adalah lagu yang membuatnya slalu akan mengenang hari itu. Sedikit rintik air mata, ada kebahagiaan yang juga terpancar, tapi hatinya semakin ingin rapuh. Hancur. Luluh. Mengapa selalu ada perpisahan di ujung sebuah cerita, ia bertanya.
            Hari itu. Langkahnya berat untuk meninggalkan tempat itu. Tempat yang selama ini memberinya mimpi. Memberinya keindahan imajinasi. Tempat yang merekam semua ekspresi alamiahnya. Tempat menjadi dirinya sendiri.
            Hari itu. Tatapannya tak ingin beranjak dari wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang selama ia anggap orang-orang terbaik yang pernah ada. Orang-orang yang luar biasa, baginya. Gurunya, teman-temannya, sahabat-sahabat terbaiknya, sepanjang masa. FADS. Mereka yang selalu ada dalam kamus hidupnya. Yang untuknya takkan ia ganti oleh siapapun. Namun, ia tak ingin berharap apapun. Karena dalam hatinya, mereka masih tetap hidup dalam alam imajinasinya, alam khayalnya yang siapapun belum tentu mengerti.
            Hari yang tak pernah terbayangkan akan benar-benar ada. Hari yang dulu ia ingin mengucapkan banyak kata, mempersembahkan beberapa ungkapan. Yang akhirnya tak sempat ia utarakan. Bagaimana? kapan? dengan cara apa? mengapa? ia tidak menemukan saat yang tepat menunjukkan semua itu. Ia masih terlalu larut dalam bayang-bayang hari esok. Tanpa sahabat-sahabatnya, tanpa gurunya, tidak lagi tempat yang ia akrabi sekian lama.
            Berpikir, berpikir, berpikir. Yang entah apa. Yang entah mengapa. Tapi ia harus tetap meneruskannya, karena alam pemikirannya sudah begitu menyatu dengan jiwanya, sudah begitu satu dengan inderanya. Esok ya…ada apa di situ? dan mesti sendiri, tapi bagaimana bisa,,, nanti.., lantas aku?. tanya-tanya buram tertanam di kepalanya.
            Sahabat…teman, tempat ini, guru-guru itu. Pandangannya makin luas. Makin menusuk ke semua penjuru. Berusaha merekamnya ke memori. Ke ingatannya yang sangat peka. Ia belum ingin kehilangan apapun. Ia belum menemukan bayangan pasti untuk esok, yahh esok. Dan, tanpa mereka.
            Ia menatap keluar jendela. Mendung seperti biasa. Sepertinya akan turun hujan. Yah, hujan. Kemarin juga hujan. Tapi beda dengan hari ini. Kemarin masih hangat. Mungkin, hari ini akan mulai terasa dingin. Apalagi bila semuanya akan benar-benar pergi. Tidak ada lagi selimut. Yah, mereka.
            Satu per satu jatuhan air mulai turun. Mulai basah. Mulai dingin. Agak dingin. Jantungnya juga. Tangan juga. Kakinya, apalagi. Masih gerimis. Tempat itu benar-benar beraura. Aura yang campur aduk. Ada yang ingin menangis. Ada yang tersenyum. Ada yang berbahagia. Ada yang tidak mengerti. Dan ada juga belum benar-benar siap. Seperti dia.
            Dan, selang hujan. Baginya itu suatu pertanda. Mungkin jeda. Sebuah akhir, sebuah awal. Ia dan yang lainnya sedang berada diantara keduanya. Kemarin, kemarin, kemarinnya lagi. Di tempat yang sama. Masih cukup hangat. Ia bersama yang lainnya turut menadah hujan. Larut. Hanyut. Riang. Baginya, kebersamaan adalah kehangatan, juga yang lain.
            Sabtu pagi, 9 Juni. Seperti hari yang kritis. Ada yang akan pergi. Dan, hujan seakan ingin menjemput semua itu. Menyudahi sebuah masa. Masa yang terangkai dalam album biru. Tentang etimologi sesungguhnya sebuah persahabatan. Pengembaraan tiada akhir. Yang kini, mesti diakhiri. Hening. Sayup. Makin layu. Sesaat lagi, akan jadi ganjil. Hujan akan membuat suasana ini larut. Yah, larut dan tergenang air mata.
            Kami terlalu muda untuk mengerti. Kami masih terlalu lugu untuk mengartikan keadaan ini. Kami masih hijau. Bagai ladang savana yang baru tumbuh. Mengakrabi angin, tanah, embun, matahari, langit, dan rembulan. Sebuah kisah layaknya petuah lama. Hikayat waktu yang terurai indah dalam liukan alunan sejarah. Hidup layaknya alur. Berjalan, mengalir, dan terus. Hingga, akan menemu sobekan kertas ditengahnya yang harus dilangkah. Dan, sobekkan kertas itu adalah sebuah jeda. Entah berapa lama. Atau mungkin, tak lagi kembali. Hingga mengganti buku baru. Cerita baru.
            Mungkin, kemarin, hanya akan jadi klise abu-abu. Tergelegak bisu di bingkai rapuh. Patah tumbuh hilang membatu. Mekar layu, mati membeku. Sebuah kisah layaknya layangan warna-warni, putus kelak angin menyambar. Putus kelak benang menyambar. Melayang jauh, lenyap di belantara.
            Atau kisah layaknya rumah tua. Yang suatu saat akan disinggahi. Dirindui anak-anak. Ingin bersuara lagi. Ingin ditinggali lagi. Rindu akan hangat keluarga kecil. Ayah, ibu, kakak, adik, saudara. Ingin dijamahi lagi. Menghidupi cinta yang takkan usai. Cinta sejati.

 (Sebuah mini cerita tentang Saya dan 3 sahabat; Aci Alia Simin, Sadam Hasan Yapono, dan Derry Montolalu/FADS)

Komentar

Postingan Populer