Standar Media Sosial: Narsis Virtual hingga Degradasi Moral dan Etika
Dalam beberapa dekade terakhir, media sosial telah mengubah lanskap komunikasi dan interaksi sosial manusia secara fundamental. Platform-platform seperti Facebook, Instagram, Twitter (X), TikTok, dan beragam aplikasi lainnya tidak hanya menjadi sarana ekspresi dan konektivitas, tetapi juga secara perlahan membentuk standar baru dalam nilai-nilai moral dan etika masyarakat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis: bagaimana standar yang diciptakan dan diperkuat oleh algoritma media sosial telah berkontribusi pada degradasi moral dan etika dalam masyarakat kontemporer?
Pergeseran Nilai dalam Ruang Digital
Media sosial, dengan kemampuannya menciptakan ruang ekspresi yang hampir tanpa batas, telah melahirkan paradoks etika yang menarik. Di satu sisi, platform ini menawarkan demokratisasi suara dan memungkinkan individu dari berbagai latar belakang untuk berkontribusi dalam percakapan publik. Di sisi lain, ekosistem yang dibangun di atas pondasi metrik kuantitatif—jumlah like, share, dan engagement—secara tidak langsung mendorong perilaku yang menempatkan popularitas di atas integritas.
Sebagaimana diungkapkan oleh peneliti media Sherry Turkle (2015) dalam bukunya "Reclaiming Conversation," interaksi digital telah menggeser nilai-nilai tradisional seperti kejujuran, empati, dan refleksi mendalam menjadi nilai-nilai yang lebih berorientasi pada citra, respons instan, dan validasi eksternal. Turkle menyatakan, "Kita telah menciptakan budaya di mana nilai seseorang semakin diukur oleh metrik yang dapat dihitung dan dipertontonkan, bukan oleh kualitas yang lebih mendalam namun tak terukur."
Pergeseran nilai ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Algoritma media sosial, yang didesain untuk memaksimalkan waktu dan keterlibatan pengguna, secara sistematis mendorong konten yang memicu reaksi emosional kuat—seringkali bersifat negatif seperti kemarahan, ketakutan, atau kecemburuan. Studi yang dilakukan oleh Brady et al. (2021) menunjukkan bahwa konten yang mengandung ekspresi moral outrage mendapatkan 17% lebih banyak engagement dibandingkan konten netral, menciptakan insentif kuat bagi produksi konten yang mendorong polarisasi dan antagonisme.
Konformitas Digital dan Normalisasi Perilaku Problematik
Salah satu konsekuensi dari ekonomi perhatian digital adalah tumbuhnya budaya di mana persetujuan sosial menjadi mata uang utama. Standar keberhasilan dalam media sosial didefinisikan oleh metrik kuantitatif yang visibel—jumlah pengikut, like, dan komentar—menciptakan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengejar validasi eksternal sebagai ukuran nilai diri.
Fenomena ini telah melahirkan apa yang disebut oleh psikolog sosial Jean Twenge (2017) sebagai "generasi perbandingan"—generasi yang terus-menerus membandingkan diri mereka dengan standar yang seringkali tidak realistis dan direkayasa. Dalam bukunya "iGen," Twenge mendokumentasikan bagaimana generasi yang tumbuh dengan media sosial menunjukkan tingkat kecemasan dan depresi yang secara signifikan lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya, sebagian karena tekanan untuk memenuhi standar kesempurnaan digital.
Lebih memprihatinkan lagi, budaya persetujuan sosial ini telah menggeser fondasi etika dari prinsip-prinsip intrinsik menjadi kalkulasi konsekuensialis tentang reaksi publik. Keputusan moral semakin didasarkan pada pertanyaan "Bagaimana ini akan diterima?" alih-alih "Apakah ini benar?" Pergeseran ini menciptakan moralitas yang bersifat performatif, di mana tindakan etis dilakukan bukan karena keyakinan internal, melainkan untuk mendapatkan pujian atau menghindari kritik publik.
Media sosial, dengan kemampuannya menyebarkan informasi secara masif dan instan, juga berperan dalam menormalkan perilaku yang secara tradisional dianggap tidak etis atau problematis. Eksposur berulang terhadap konten yang mengandung kekerasan, ujaran kebencian, atau pelanggaran privasi secara bertahap menumpulkan sensitivitas moral kita—fenomena yang dikenal sebagai desensitisasi etis.
Penelitian oleh Soral et al. (2018) menunjukkan bahwa paparan reguler terhadap ujaran kebencian di media sosial secara signifikan menurunkan respons emosional negatif terhadap ujaran serupa di kemudian hari, mengindikasikan terjadinya desensitisasi. Lebih jauh lagi, studi oleh Weber et al. (2020) menemukan bahwa media sosial menciptakan "efek spiral pengabaian" di mana norma-norma destruktif yang awalnya ditolak secara gradual diterima sebagai bagian dari lanskap digital yang normal.
Desensitisasi ini tidak hanya berdampak pada persepsi tentang konten problematik, tetapi juga pada perilaku aktif pengguna. Fenomena "online disinhibition effect" yang diidentifikasi oleh psikolog John Suler (2004) menjelaskan bagaimana lingkungan online menurunkan hambatan psikologis yang biasanya mencegah perilaku antisosial. Anonimitas, invisibilitas, dan asinkronitas komunikasi digital menciptakan kondisi di mana individu merasa kurang terikat oleh norma-norma sosial konvensional, mendorong perilaku yang tidak akan mereka lakukan dalam interaksi tatap muka.
Fragmentasi Kebenaran hingga Erosi Privasi
Era media sosial telah melahirkan fenomena yang oleh beberapa ahli disebut sebagai "post-truth"—kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Algoritma yang memprioritaskan engagement menciptakan "filter bubble" dan "echo chamber" yang memperkuat keyakinan yang sudah ada dan mengurangi eksposur terhadap perspektif alternatif.
Konsekuensi etis dari fragmentasi informasi ini adalah berkembangnya relativisme moral yang ekstrem—pandangan bahwa moralitas sepenuhnya subjektif dan tidak ada standar objektif untuk membedakan benar dan salah. Meskipun penghargaan terhadap keberagaman perspektif adalah nilai penting, relativisme tanpa batas dapat mengikis fondasi bersama yang diperlukan untuk diskursus moral yang bermakna.
Profesor filsafat Michael Lynch (2016) dalam bukunya "The Internet of Us" berpendapat bahwa "ketika kita kehilangan konsep kebenaran bersama, kita juga kehilangan kemampuan untuk berargumentasi secara rasional tentang nilai-nilai yang harus memandu masyarakat kita." Fragmentasi kebenaran, dengan demikian, tidak hanya mengancam epistemologi kolektif tetapi juga infrastruktur etis yang memungkinkan kehidupan sosial yang koheren.
Media sosial telah secara fundamental mengubah batas-batas antara ruang publik dan privat, mendorong apa yang disebut oleh sosiolog Eva Illouz (2007) sebagai "kapitalisme emosional"—proses di mana relasi dan pengalaman intim ditransformasikan menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan. Konten personal yang dulu dianggap privat, seperti momen keluarga intim atau pengalaman yang mendalam, kini seringkali dibagikan secara publik untuk mendapatkan validasi sosial dan keuntungan material.
Fenomena "sharenting" (orangtua membagikan konten tentang anak mereka), "trauma dumping" (berbagi pengalaman traumatis secara publik), dan monetisasi aspek-aspek intim kehidupan mengundang pertanyaan etis yang kompleks tentang persetujuan, eksploitasi, dan hak atas narasi personal. Normalisasi dari praktek-praktek ini secara perlahan menggeser pemahaman kita tentang apa yang layak dibagikan dan apa yang seharusnya tetap privat, menciptakan standar baru yang mengutamakan visibilitas di atas privasi.
Lebih mendalam lagi, platform media sosial, dengan model bisnis yang bergantung pada ekstraksi dan monetisasi data personal, secara struktural mendorong erosi privasi sebagai nilai sosial. Sebagaimana diargumentasikan oleh filsuf Byung-Chul Han (2015) dalam "The Transparency Society," kita telah bergerak menuju masyarakat di mana transparansi total dianggap sebagai kebaikan tanpa mempertimbangkan bagaimana privasi dan kemampuan untuk menarik diri dari pengawasan merupakan aspek penting dari otonomi moral.
***
KONTEKS INDONESIA
Budaya Instan dalam Paradoks Keterhubungan Digital
Dalam rentang waktu yang relatif singkat, media sosial telah mengubah lanskap komunikasi, informasi, dan interaksi sosial masyarakat Indonesia secara fundamental. Perubahan ini tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga telah membawa transformasi signifikan pada dimensi moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu negara dengan penetrasi media sosial tertinggi di dunia. Data terbaru dari We Are Social dan Hootsuite menunjukkan bahwa dari 282 juta penduduk Indonesia, lebih dari 170 juta merupakan pengguna aktif media sosial, dengan rata-rata waktu penggunaan mencapai 3 jam 14 menit per hari. Angka ini jauh melampaui rata-rata global yang berada di kisaran 2 jam 25 menit per hari. Platform seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, dan TikTok telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan sosial dan kelompok usia.
Paradoksnya, di tengah keterhubungan digital yang semakin intensif ini, kita justru menyaksikan fenomena yang oleh sosiolog Zygmunt Bauman disebut sebagai "atomisasi sosial" – situasi di mana individu-individu semakin terisolasi secara sosial meski secara digital terhubung. Di ruang-ruang publik Indonesia, pemandangan kelompok orang yang berkumpul namun masing-masing sibuk dengan gawainya telah menjadi hal yang lazim. Sebuah penelitian dari Universitas Indonesia pada 2019 mengungkapkan bahwa 67% responden mengakui kehadiran gawai telah mengurangi kualitas komunikasi tatap muka mereka dengan keluarga dan teman.
Lebih memprihatinkan, muncul fenomena "nomophobia" (no-mobile-phone-phobia) di kalangan generasi muda Indonesia. Survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2020 menemukan bahwa 63% remaja Indonesia mengalami kecemasan ketika terpisah dari ponsel mereka, bahkan untuk waktu yang singkat. Kondisi ketergantungan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga menggerogoti nilai-nilai sosial fundamental seperti empati, kepedulian, dan kebersamaan yang sejatinya menjadi pilar penting dalam budaya Indonesia.
Salah satu dimensi degradasi moral yang cukup mencolok di era media sosial adalah berkembangnya "budaya instan" yang menggerus etika kerja keras dan proses. Media sosial dengan algoritma yang mengutamakan konten viral dan sensasional telah menciptakan standar kesuksesan baru yang sering kali tidak berkorelasi dengan substansi, proses, dan integritas.
Di Indonesia, fenomena selebgram dan influencer yang mendadak terkenal dan kaya melalui konten-konten viral telah menciptakan persepsi bahwa kesuksesan bisa diraih secara instan tanpa proses pembelajaran dan kerja keras yang bermakna. Sebuah survei dari Alvara Research Center pada 2021 mengungkapkan bahwa 54% remaja Indonesia berusia 15-18 tahun memilih "content creator" sebagai cita-cita pekerjaan, mengalahkan profesi dokter, insinyur, atau guru yang sebelumnya dominan. Yang memprihatinkan, 72% dari mereka mengaku tertarik karena melihat gaya hidup mewah yang dipertontonkan di media sosial, bukan karena aspek kreativitas atau dampak sosial.
Kasus Doni Salmanan dan Indra Kenz yang viral karena memamerkan kekayaan di media sosial namun kemudian terbukti melakukan penipuan, menjadi contoh nyata bagaimana standar kesuksesan yang didistorsi media sosial dapat berujung pada perilaku tidak etis. Kedua figur ini sempat menjadi inspirasi bagi jutaan pengikut di Indonesia sebelum akhirnya terungkap bahwa kekayaan mereka bersumber dari skema investasi ilegal. Kasus ini merefleksikan bagaimana media sosial dapat menciptakan legitimasi palsu terhadap perilaku tidak etis selama dikemas dalam narasi kesuksesan yang menarik.
Di ranah pendidikan, budaya instan ini bermanifestasi dalam bentuk plagiarisme akademik yang semakin masif. Kemudahan berbagi informasi di media sosial dan platform pesan instan membuat praktik copy-paste tugas menjadi hal biasa. Penelitian dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2020 menemukan bahwa 68% mahasiswa Indonesia pernah melakukan plagiarisme dalam berbagai bentuk, dengan media sosial sebagai sarana utama pertukaran konten plagiat.
Polarisasi dan Erosi Empati Sosial
Media sosial, dengan algoritma yang cenderung menciptakan ruang gema (echo chamber), telah memperkuat polarisasi dan tribalisasi masyarakat Indonesia. Fenomena ini semakin intensif terutama dalam momen-momen politik seperti Pemilihan Presiden 2019 dan beberapa Pilkada serentak, di mana masyarakat terbelah dalam kelompok-kelompok yang saling berseberangan dan sulit untuk berempati terhadap pandangan berbeda.
Polarisasi ini bukan sekadar perbedaan pandangan politik, tetapi telah merembes ke dalam hubungan personal dan sosial. Survei Lingkaran Survei Indonesia pada 2019 mengungkapkan bahwa 43% responden mengaku hubungan pertemanan mereka rusak akibat perbedaan pilihan politik yang dipertegas melalui interaksi di media sosial. Lebih mengkhawatirkan, 27% responden mengaku tidak lagi mau berinteraksi dengan tetangga atau kolega yang memiliki preferensi politik berbeda, fenomena yang sebelumnya sangat jarang terjadi dalam budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kerukunan sosial.
Menjelang dan selama Pemilu 2024, polarisasi dan tribalisme politik di media sosial Indonesia mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Salah satu kasus yang mengemuka adalah fenomena "buzzer politik" yang secara terorganisir menyebarkan narasi pemecah belah dan disinformasi untuk memanipulasi opini publik.
Investigasi dari sebuah media independen pada Januari 2024 mengungkap jaringan buzzer yang terdiri dari ribuan akun terkoordinasi yang secara sistematis menyebarkan konten yang memicu kebencian antarkelompok pendukung kandidat. Investigasi tersebut juga menemukan bahwa 70% konten disinformasi politik yang viral selama masa kampanye berasal dari jaringan terorganisir ini.
Yang lebih memprihatinkan, survei dari Indikator Politik Indonesia pada Februari 2024 menemukan bahwa 54% pemilih muda Indonesia mengaku informasi politik mereka didominasi oleh konten media sosial dari kelompok yang sepaham dengan pandangan politik mereka, menunjukkan fenomena ruang gema (echo chamber) yang semakin kuat.
Dampak nyata dari polarisasi ini adalah meningkatnya intoleransi politik dalam kehidupan sehari-hari. Survei dari Lembaga Survei Indonesia pada Maret 2024 mengungkapkan bahwa 37% responden mengaku hubungan keluarga atau pertemanan mereka rusak akibat perbedaan pilihan politik yang dipertegas melalui interaksi di media sosial.
Kasus ujaran kebencian berbasis agama dan etnisitas yang marak di media sosial Indonesia juga menjadi bukti nyata erosi empati sosial. Selama periode 2019-2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat lebih dari 3.800 laporan konten ujaran kebencian di media sosial, dengan 60% di antaranya berbasis agama dan etnisitas. Fenomena ini mencerminkan bagaimana anonimitas dan jarak sosial yang diciptakan media sosial telah mengikis rasa kemanusiaan dan empati yang sejatinya menjadi nilai inti masyarakat Indonesia.
Kasus Audrey di Pontianak pada 2019 menjadi contoh nyata bagaimana media sosial dapat memicu eskalasi konflik sosial tanpa verifikasi fakta yang memadai. Tagar #JusticeForAudrey viral dan memicu kemarahan publik secara nasional, namun kemudian terungkap bahwa narasi yang beredar di media sosial tidak sepenuhnya akurat. Meski demikian, dampak polarisasi dan konflik sosial yang ditimbulkan tidak mudah dipulihkan.
Perkembangan terbaru yang mengkhawatirkan adalah munculnya fenomena "robot konten" di Indonesia, yaitu akun-akun yang menggunakan teknologi AI untuk memproduksi dan menyebarkan konten dalam jumlah masif. Menurut penelitian Center for Digital Society UGM yang dirilis pada Februari 2024, teridentifikasi lebih dari 1.500 akun YouTube Indonesia yang menunjukkan pola produksi konten algoritmik, dengan rata-rata menghasilkan 15-20 video per hari.
Konten yang diproduksi secara masif ini seringkali bersifat clickbait, menyesatkan, atau bahkan menyebarkan informasi yang tidak akurat. Salah satu contoh kasusnya adalah jaringan channel YouTube yang memanipulasi berita kriminal dengan judul dan thumbnail sensasional, disertai narasi yang dibuat oleh AI, namun dengan fakta yang diputarbalikkan atau bahkan sepenuhnya fiksi.
Laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Januari 2024 mengungkapkan bahwa robot konten ini telah berkontribusi signifikan terhadap penyebaran hoaks dan disinformasi, dengan estimasi 43% konten hoaks yang viral di Indonesia selama periode pemilu terakhir berasal dari akun-akun yang menunjukkan pola produksi algoritmik.
Fenomena ini merefleksikan degradasi nilai kebenaran dan integritas informasi yang semakin parah di era media sosial, di mana kuantitas dan kecepatan produksi konten lebih diprioritaskan daripada akurasi dan nilai jurnalistik.
Eksploitasi Konten Berbuah Nihilisme Digital
Dimensi lain dari degradasi moral di era media sosial adalah fenomena eksploitasi konten dan komodifikasi penderitaan. Di Indonesia, praktik content creator yang merekam tindakan "kebaikan" terhadap orang miskin atau penyandang disabilitas demi engagement telah menimbulkan perdebatan etis. Demikian pula dengan tayangan "social experiment" yang sering kali melecehkan privasi dan martabat subjeknya.
Laporan dari Indonesia AI Research & Innovation Center pada 2022 mengungkapkan bahwa konten yang menampilkan penderitaan orang lain mendapatkan engagement 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan konten edukatif pada platform media sosial populer di Indonesia. Kondisi ini menciptakan insentif ekonomi yang mendorong eksploitasi lebih lanjut, membentuk lingkaran setan degradasi etika demi pengakuan dan keuntungan finansial.
Kasus konten "prank" yang melibatkan orang dengan keterbatasan ekonomi atau pendidikan juga mencerminkan bagaimana media sosial dapat menormalisasi perilaku eksploitatif. Beberapa content creator Indonesia terkenal terbukti membayar orang-orang kurang mampu untuk melakukan tindakan memalukan atau berbahaya demi konten viral. Praktik ini bukan hanya melanggar hak dan martabat subjek, tetapi juga menormalkan pandangan bahwa segala sesuatu, termasuk martabat manusia, dapat dijadikan komoditas demi keuntungan.
Pada awal 2023 hingga saat ini, terjadi peningkatan signifikan konten yang mengeksploitasi kemiskinan untuk mendapatkan engagement di platform seperti TikTok dan YouTube. Salah satu kasus yang mendapat sorotan luas adalah seorang content creator dengan jutaan pengikut yang merekam dirinya memberikan bantuan kepada keluarga miskin dengan cara yang dianggap merendahkan martabat penerima bantuan.
Dalam videonya, content creator tersebut merekam close-up ekspresi keluarga saat menerima bantuan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan invasif tentang kondisi ekonomi mereka, dan membuat narasi dramatis untuk meningkatkan respons emosional penonton. Video tersebut mendapatkan puluhan juta tayangan dan ribuan komentar yang kebanyakan justru memuji "kebaikan" sang content creator.
Kasus ini memicu perdebatan etis di kalangan akademisi media dan aktivis sosial yang mengkritik fenomena "trauma porn" – istilah untuk konten yang mengeksploitasi penderitaan orang lain demi keuntungan pribadi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada September 2023 kemudian mengeluarkan imbauan khusus mengenai konten eksploitatif ini, meski efektivitas implementasinya masih dipertanyakan.
Dimensi yang paling memprihatinkan adalah bagaimana eksploitasi ini telah menjadi model bisnis yang menguntungkan. Analisis dari Indonesia Digital Literacy Network menunjukkan bahwa konten "pemberian bantuan" dengan pendekatan eksploitatif menghasilkan pendapatan 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan konten serupa yang menjaga privasi dan martabat penerima bantuan.
Lebih mengkhawatirkan, penelitian dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2021 menemukan bahwa 47% konten YouTube anak dengan jutaan penonton di Indonesia mengandung unsur eksploitasi anak dalam berbagai bentuk, mulai dari membuat anak menangis dengan sengaja, menakut-nakuti, hingga mempertontonkan konflik keluarga demi konten yang viral. Fenomena ini mencerminkan bagaimana standar etika fundamental seperti perlindungan terhadap anak telah tereduksi demi popularitas di media sosial.
Salah satu dampak paling mendasar dari media sosial terhadap dimensi moral masyarakat Indonesia adalah munculnya apa yang dapat disebut sebagai "nihilisme digital" – kondisi di mana kebenaran kehilangan nilai intrinsiknya dan menjadi sekadar komoditas yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Di era post-truth ini, fakta dan hoaks memiliki kekuatan yang setara dalam membentuk opini publik selama dikemas dalam narasi yang menarik dan sesuai dengan bias konfirmasi audiens.
Data dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menunjukkan peningkatan signifikan jumlah hoaks yang beredar di Indonesia, dari 1.402 kasus pada 2018 menjadi 3.156 kasus pada 2022, dengan platform media sosial sebagai saluran utama penyebaran. Yang memprihatinkan, sebuah studi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2021 mengungkapkan bahwa 68% responden Indonesia mengaku pernah menyebarkan informasi tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu.
Kasus Ratna Sarumpaet pada 2018 menjadi contoh nyata bagaimana manipulasi kebenaran dapat dengan cepat viral di media sosial dan memicu reaksi massal sebelum fakta sesungguhnya terungkap. Demikian pula dengan berbagai hoaks seputar COVID-19 yang menyebabkan penolakan terhadap protokol kesehatan dan vaksinasi di berbagai daerah di Indonesia, menunjukkan konsekuensi nyata dari krisis kebenaran di era digital.
Yang lebih fundamental, nihilisme digital ini telah menggerogoti fondasi kepercayaan (trust) dalam masyarakat. Survei dari Edelman Trust Barometer pada 2023 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap informasi yang beredar di media sosial hanya 35%, namun paradoksnya, 72% mengaku media sosial tetap menjadi sumber utama informasi mereka. Kondisi ini menciptakan masyarakat yang skeptis namun pasif, yang pada akhirnya rentan terhadap manipulasi informasi yang lebih canggih.
Rekonstruksi Moral dan Etika di Era Digital
Menghadapi berbagai dimensi degradasi moral dan etika di era standar media sosial ini, diperlukan pendekatan multidimensi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pendekatan ini tidak boleh jatuh pada ekstrem teknofobia yang menolak kemajuan teknologi, namun juga tidak boleh abai terhadap dampak sosial-etis yang ditimbulkannya.
Pertama, penguatan literasi digital yang tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga dimensi etis penggunaan media sosial. Program Siberkreasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu diperluas cakupannya, tidak hanya pada pengenalan hoaks tetapi juga aspek etika digital yang lebih komprehensif. Beberapa inisiatif lokal seperti "Sekolah Etika Digital" di Yogyakarta yang mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dengan etika digital dapat menjadi model yang diterapkan secara lebih luas.
Kedua, revitalisasi ruang-ruang dialog offline yang memungkinkan interaksi sosial autentik. Fenomena "digital detox communities" yang mulai bermunculan di beberapa kota besar Indonesia seperti Jakarta dan Bandung menunjukkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan digital dan interaksi sosial langsung. Pemerintah dan komunitas dapat berkolaborasi dalam menciptakan lebih banyak ruang publik yang mendorong interaksi tanpa gawai.
Ketiga, regulasi platform media sosial yang lebih berorientasi pada kesejahteraan sosial, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang dibahas DPR sejak 2020 perlu segera disahkan dan diimplementasikan secara konsisten. Selain itu, regulasi yang mewajibkan transparansi algoritma platform media sosial dan mengendalikan praktik eksploitatif juga perlu dipertimbangkan, mengikuti model Digital Services Act dari Uni Eropa yang telah menunjukkan keseimbangan yang lebih baik antara inovasi dan perlindungan nilai sosial.
Keempat, revitalisasi pendidikan karakter yang mengintegrasikan nilai-nilai moral tradisional Indonesia dengan realitas digital. Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan pemerintah perlu diperbarui dengan memasukkan dimensi etika digital yang relevan dengan tantangan kontemporer. Beberapa sekolah di Indonesia seperti Sekolah Cikal Jakarta telah mengembangkan kurikulum "Digital Citizenship" yang mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dengan etika penggunaan teknologi digital, model yang dapat diadaptasi secara lebih luas.
Terakhir, mendorong inovasi teknologi yang lebih berpihak pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Komunitas pengembang teknologi Indonesia perlu didorong untuk menciptakan alternatif platform media sosial yang tidak semata-mata digerakkan oleh logika ekonomi engagement, melainkan juga nilai-nilai sosial dan budaya Indonesia. Inisiatif seperti Warga Bantu Warga yang menggunakan teknologi media sosial untuk gerakan gotong-royong digital, atau KitaBisa yang memanfaatkan crowdfunding untuk tujuan sosial, menunjukkan potensi teknologi untuk memperkuat, bukan menggerogoti nilai-nilai moral masyarakat.
*ditulis sepanjang 2025
@sastragrafi19
Komentar
Posting Komentar