Efisiensi Gelap

Efisiensi 1

Setiap rapat selalu dimulai
dengan secangkir kopi panas
dan sepiring kue-kue mahal
yang tak pernah habis dimakan.

Di ujung meja oval itu
mereka mengetuk-ngetuk palu
sambil memotong anggaran rakyat
seakan memangkas rumput liar.

"Efisiensi!" kata mereka bangga
menggeser angka-angka di kertas
sementara mobil dinas baru
terparkir rapi di basement.

Sekolah-sekolah tua menunggu
dengan atap yang bocor
dan anak-anak yang masih belajar
di lantai retak penuh debu.

Puskesmas kecil di desa
kehabisan obat-obatan
tapi ruang rapat ber-AC
tak pernah kekurangan udara sejuk.

"Efisiensi!" kata mereka lagi
sambil menandatangani
proposal pembangunan
gedung kantor yang ke sekian.

Di luar sana
antrian panjang mengular
menunggu bantuan
yang tak kunjung datang.

Malam ini mereka tidur nyenyak
di balik selimut jabatan
sementara efisiensi
menggerogoti mimpi rakyat.


Efisiensi 2

seperti hujan yang jatuh memilih-milih atap
begitulah angka-angka itu turun:
lebih deras pada gedung-gedung tinggi
hanya gerimis bagi rumah-rumah reot

tak ada yang tahu mengapa angin
selalu membawa aroma kopi dari ruang rapat
sementara di luar, antrian panjang
menguap dalam terik yang tak berkesudahan

setiap pagi kulihat kertas-kertas putih
berisik oleh coretan merah:
dipotong, dikurangi, dihapus —
seperti daun-daun yang gugur di musim kemarau

di sudut kota, seorang ibu menunggu
di puskesmas yang kehabisan obat
(ada yang bilang anggaran tahun ini
tersesat dalam labirin birokrasi)

malam merayap di antara gedung-gedung;
kunang-kunang lampu mobil dinas berkelap-kelip
mengantarkan mimpi-mimpi ke brankas,
menyisakan rapat-rapat yang tak pernah usai

waktu mengalir seperti tinta
di atas kertas-kertas efisiensi:
ada yang bertambah, ada yang berkurang —
tapi selalu saja rakyat yang menghilang


Gelap

Setiap pagi aku membuka jendela,
tapi kegelapan tetap di sana:
mengendap seperti kopi pahit
dalam cangkir-cangkir harapan yang retak.

Di negeri ini, kegelapan adalah bahasa sehari-hari—
cara kita menyebut korupsi, kebohongan,
dan semua janji-janji yang tertidur
di ranjang-ranjang kekuasaan.

Kau tahu? Terkadang aku berpikir
tentang cahaya yang dulu pernah ada:
ketika kata-kata masih bisa dipercaya
dan hukum tidak dijual di pasar gelap.

Sekarang, kegelapan telah menjadi alamat—
tempat kita mengirim surat-surat pengaduan
yang tak pernah sampai. Ia adalah kode pos
dari segala mimpi yang tersesat.

Di televisi, para pembohong masih menari,
mengubah kegelapan menjadi statistik,
menjadikan penderitaan sebagai angka-angka
yang bisa dimanipulasi sesuka hati.

Mungkin beginilah rasanya:
menjadi anak yang kehilangan negeri,
seperti puisi yang kehilangan makna,
seperti cinta yang lupa caranya pulang.

Dan di sini kita: sekelompok orang
yang masih mencoba membaca masa depan
dalam gelap. Mencari-cari tombol lampu
yang entah disembunyikan di sudut mana.

Katamu: Indonesia tidak gelap.
Tapi mengapa setiap kali aku memejamkan mata,
yang kulihat hanya bayangan-bayangan
dari semua yang telah kita hilangkan?

13 & 17 Februari 2025

Komentar

Postingan Populer