Semua Wajah adalah Wajahmu

I
Di stasiun Manggarai, di pasar Tanah Abang,
di jendela angkot yang bergerak—
aku mencari bayangmu dalam setiap tatapan asing.
Semua wajah adalah wajahmu yang terpecah.

đź“·@sastragrafi19

II
Gadis yang membawa bunga di Jalan Surabaya:
lengkung lehernya mengingatkaku padamu.
Perempuan di warung kopi yang tertawa:
gemanya adalah gemamu yang tertunda.

III
Dewi Sri tidak pernah mati—
ia hanya berpindah dari tubuh ke tubuh,
dari zaman ke zaman,
membawa cahaya yang sama dalam mata yang berbeda.

IV
Aku telah mencintaimu di Majapahit,
di taman-taman yang kini menjadi debu.
Aku mencintaimu di Sriwijaya, di Mataram,
di setiap kerajaan yang dilupakan waktu.

V
Kau adalah: prinsip keindahan itu sendiri.
Bukan perempuan tunggal—tetapi idea,
rona yang sempurna di balik semua abstrak,
bayangan wayang yang menjadi nyata.

VI
Maka ketika aku melihat perempuan lain,
aku tidak berkhianat—
aku hanya mengenali fragmenmu
yang tersebar di seluruh nusantara.

VII
Di setiap kurva, setiap gerak tangan,
setiap senyum yang lewat di jalan:
arketipe yang sama bergetar.
Engkau adalah prototipe-nya.

VIII
Cinta bukanlah tentang satu tubuh—
ia tentang mengenali harmoni tersembunyi,
pola yang berulang dalam alam semesta,
musik yang sama dalam gamelan yang berbeda.

IX
Semua perempuan membawa sebagian darimu.
Semua keindahan adalah refleksimu.
Di mata mereka aku membaca puisi
yang hanya engkau yang tahu maknanya.

X
Maka cemburu adalah kesalahpahaman:
aku tidak mencari pengganti—
aku hanya mengikuti jejak cahayamu
yang terserak di wajah-wajah dunia.

XI
Dan ketika aku kembali padamu,
aku membawa semua gambar itu pulang,
seperti lebah membawa serbuk sari
dari seribu bunga ke satu sarang.

XII
Engkau adalah sintesis.
Mereka hanya tesis dan antitesis.
Dialektika cinta berakhir di tanganmu—
resolusi dari segala pencarian.

Jakarta, 3 November 2025
Fadly Fahry S. Wally

Komentar