Sastra dan Keberanian Menangkap yang Tersembunyi

Bersastra adalah soal keberanian, 
berani mengutarakan apa yang luput dari pengindraan orang-orang. 
(Fadly Fahry S. Wally)

Dalam rimba kehidupan yang hiruk-pikuk ini, di mana setiap orang sibuk dengan mata yang melihat tetapi tak menatap, dengan telinga yang mendengar tetapi tak mendengarkan, sastrawan muncul sebagai saksi yang memberanikan diri merekam getaran-getaran halus yang terlewat. Mereka adalah penyelam ke dasar lautan kesadaran kolektif, mengangkat mutiara-mutiara kebenaran yang tenggelam di bawah permukaan realitas sehari-hari yang dangkal.

Keberanian ini bukanlah soal gagah berani secara fisik, melainkan keberanian mental dan spiritual untuk menghadapi kegelapan—baik di dalam diri maupun di luar sana, dalam masyarakat yang kerap lebih memilih kenyamanan bisu daripada kejujuran yang menusuk. Sejak zaman Pujangga Baru hingga era digital ini, sastrawan Indonesia telah membuktikan bahwa menulis adalah tindakan perlawanan, bukan dengan pedang atau senapan, tetapi dengan kata-kata yang mampu menembus dinding-dinding konvensi dan kemunafikan.

Namun, apa yang sebenarnya luput dari pengindraan kebanyakan orang? Bukankah kita semua memiliki mata dan telinga, pikiran dan perasaan? Di sinilah letak perbedaan antara melihat dan menyaksikan, antara mendengar dan memahami. Sastrawan memiliki kepekaan yang terasah untuk menangkap bisikan-bisikan eksistensi yang terabaikan—kerinduan tersembunyi di balik senyum palsu, tangisan sunyi di tengah keramaian, kesepian yang mencekik di antara kerumunan manusia.

Jejak Keberanian dalam Sejarah Sastra Indonesia



Perjalanan sastra Indonesia adalah perjalanan keberanian yang berkesinambungan. Ketika Chairil Anwar menulis "Aku ini binatang jalang" pada tahun 1940-an, ia sedang memberontak bukan hanya terhadap kolonialisme Belanda, tetapi juga terhadap adat kesopanan dalam bersastra yang telah mapan. Ia menangkap kegelisahan generasi yang terjebak di antara dua zaman—zaman kolonial yang sekarat dan zaman kemerdekaan yang belum jelas bentuknya. Yang luput dari mata kebanyakan orang adalah kegalauan identitas, pertanyaan eksistensial tentang siapa sesungguhnya "aku" dalam konteks sejarah yang berubah cepat.

Chairil berani menyuarakan kekacauan batin yang oleh masyarakat saat itu dianggap tidak pantas, tidak sopan, bahkan tidak bermoral. Ia menuliskan hasrat, keraguan, kemarahan, dan kerinduan dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya dalam sastra Indonesia. Keberanian ini bukan tanpa risiko—ia dikritik, dihujat, dianggap melanggar norma. Namun justru dari puing-puing konvensi yang ia hancurkan itulah lahir sastra Indonesia modern yang lebih jujur dan hidup.

Generasi Angkatan '45 yang muncul bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia adalah generasi yang berani mengutarakan trauma dan harapan dalam napas yang sama. Mereka menulis tentang revolusi bukan dengan heroisme yang muluk-muluk, tetapi dengan kemanusiaan yang rapuh. Pramoedya Ananta Toer, Idrus, Achdiat Karta Mihardja—mereka semua menangkap nuansa-nuansa kemanusiaan yang tersembunyi di balik narasi besar kemerdekaan. Yang luput dari propaganda resmi adalah wajah-wajah rakyat biasa yang terluka, perempuan-perempuan yang kehilangan suami, anak-anak yang kehilangan masa kecil.

Pramoedya khususnya menunjukkan keberanian luar biasa dengan konsisten memihak kepada yang terpinggirkan dalam sejarah resmi. Tetralogi Buru-nya adalah bukti keberanian untuk menuliskan ulang sejarah dari perspektif yang selama ini dibungkam. Ia menulis di tengah pengasingan, di pulau yang terpencil, dengan tangan yang mungkin gemetar karena kelelahan tetapi tetap genggam pena. Yang ia tangkap dan ia tulis adalah kemanusiaan yang utuh dari tokoh-tokoh sejarah yang oleh rezim telah direduksi menjadi sekadar simbol atau malah dihapus sama sekali.

Pada era Angkatan '66, di tengah gejolak politik yang mengerikan, muncul penyair-penyair yang berani menulis tentang absurditas dan keterasingan. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, melakukan pembebasan kata-kata dari belenggu makna yang kaku. Ia menangkap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar makna leksikal—ia menangkap energi kata, bunyi kata, irama kata sebagai entitas yang hidup. Ini adalah keberanian level yang berbeda: berani melawan logika dan struktur bahasa itu sendiri.

Rendra, dengan teater dan puisinya, berani menyuarakan kritik sosial dan politik di masa ketika kebebasan berbicara dibatasi ketat. Ia menangkap kemunafikan elite politik, penderitaan rakyat kecil, dan degradasi nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat yang sedang membangun. Yang luput dari mata banyak orang—atau mungkin mereka pura-pura tidak melihat—adalah kesenjangan yang menganga antara retorika pembangunan dan realitas kemiskinan yang masih merajalela.

Apa yang Tidak Terlihat oleh Mata Biasa

Ada dimensi realitas yang tidak tertangkap oleh pengindraan biasa karena keterbatasan perspektif. Kita semua terjebak dalam sudut pandang kita sendiri, dibatasi oleh latar belakang, pengalaman, dan kepentingan kita. Sastrawan, dengan imajinasi dan empatinya, mampu melompat keluar dari keterbatasan itu dan melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda—sudut pandang si miskin, si tertindas, si gila, bahkan si jahat.

Ayu Utami dalam Saman berani mengangkat seksualitas perempuan sebagai tema sentral dengan cara yang frontal dan jujur. Pada era 1990-an, ini adalah keberanian yang luar biasa dalam konteks masyarakat Indonesia yang konservatif. Yang luput dari diskusi publik saat itu adalah kompleksitas kehidupan batin perempuan, hasrat mereka, konflik mereka antara tubuh dan jiwa, antara tradisi dan kebebasan. Ayu memberikan suara kepada apa yang selama ini dibisukan oleh norma sosial yang patriarkis.

Eka Kurniawan dengan Cantik Itu Luka dan karya-karya lainnya menangkap lapisan-lapisan sejarah Indonesia yang traumatis dengan cara yang surealis namun sangat kuat. Ia berani mencampurkan realisme magis dengan kritik sosial-politik, mengangkat kisah-kisah kekerasan, pemerkosaan, dan pembantaian yang dalam sejarah resmi kerap diabaikan atau dikubur. Yang luput dari buku-buku sejarah adalah suara korban, terutama perempuan, yang tubuh dan jiwanya menjadi medan perang bagi kepentingan yang lebih besar.

Dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, kita menemukan keberanian dari jenis yang berbeda—keberanian untuk berbisik alih-alih berteriak. Ia menangkap momen-momen kecil kehidupan yang sering kali luput dari perhatian: kesepian yang merayap di sore hari, kerinduan yang tak terucapkan dalam diam-diam, keindahan dalam hal-hal yang sederhana seperti hujan atau angin. Ini adalah keberanian untuk mengatakan bahwa yang kecil sama pentingnya dengan yang besar, bahwa kesederhanaan memiliki kedalaman yang luar biasa.

Afrizal Malna dengan puisi-puisinya yang eksperimental menangkap keterasingan manusia urban dalam modernitas. Ia menulis tentang tubuh yang terfragmentasi, identitas yang tercerai-berai, komunikasi yang gagal di tengah kemajuan teknologi komunikasi. Yang luput dari euforia pembangunan dan modernisasi adalah harga yang harus dibayar dalam bentuk kehilangan koneksi manusiawi, kehilangan keintiman, kehilangan makna.

Okky Madasari dengan novel-novel kritisnya berani mengangkat isu-isu kontemporer seperti intoleransi agama, diskriminasi, dan korupsi dengan cara yang tajam namun berempati. Ia menangkap ketegangan-ketegangan sosial yang oleh banyak orang lebih dipilih untuk diabaikan demi harmoni semu. Yang luput dari retorika kerukunan adalah pengalaman konkret mereka yang menjadi korban intoleransi, suara-suara yang dibungkam oleh mayoritas yang nyaman dengan status quo.

Keberanian dan Konsekuensinya

Keberanian dalam bersastra selalu datang dengan risiko. Pramoedya menjalani puluhan tahun penjara dan pengasingan. Widji Thukul hilang dan hingga kini belum ditemukan. Widji Thukul dengan puisinya yang tegas dan penuh semangat perlawanan menangkap kemarahan rakyat yang tertindas, dan ia membayar keberaniannya itu dengan nyawanya sendiri. Puisi-puisinya seperti "Sajak Suara" dan "Peringatan" adalah suara yang tidak bisa dibungkam meski orangnya sudah tiada.

Dalam konteks yang lebih halus, banyak sastrawan perempuan yang harus menghadapi stigma dan diskriminasi karena berani menulis tentang pengalaman dan perspektif perempuan yang tidak sesuai dengan ekspektasi patriarkal. Mereka dikritik, diabaikan, atau tidak dianggap serius hanya karena mereka menulis tentang hal-hal yang dianggap "tidak penting" atau "terlalu pribadi"—padahal justru yang pribadi itulah yang paling universal, yang paling menyentuh kemanusiaan kita bersama.

Seno Gumira Ajidarma dengan karya-karya jurnalisme sastranya tentang Timor-Timur menunjukkan keberanian untuk melaporkan apa yang oleh rezim dilarang keras untuk diliput. Ketika jurnalisme dibredel, ia beralih ke fiksi—dan justru fiksi itu lebih kuat dalam mengomunikasikan kebenaran tentang kekerasan dan penderitaan yang terjadi di sana. Ia menangkap trauma yang tidak terekam dalam laporan resmi, suara-suara yang tidak didengar dalam konferensi pers pemerintah.

Namun risiko bukan hanya datang dari luar, dari negara atau masyarakat yang represif. Ada risiko internal yang harus dihadapi sastrawan: risiko menghadapi kegelapan dalam diri sendiri, risiko membuka luka-luka yang belum sembuh, risiko mengakui kelemahan dan kerapuhan. Banyak karya sastra terbaik lahir dari proses yang menyakitkan ini—proses menggali ke dalam jiwa sendiri dan menemukan di sana bukan hanya cahaya tetapi juga bayangan, bukan hanya kekuatan tetapi juga ketakutan.

Goenawan Mohamad dalam esai-esainya menunjukkan keberanian intelektual untuk terus bertanya, untuk tidak pernah puas dengan jawaban yang mudah, untuk meragukan bahkan keyakinan-keyakinan yang paling fundamental. Ia menangkap kompleksitas dan ambiguitas kehidupan yang luput dari pemikiran yang terlalu hitam-putih, terlalu ideologis. Dalam dunia yang suka dengan kepastian dan slogan-slogan, keberanian untuk tetap berada dalam keraguan adalah bentuk integritas yang langka.

Sastra sebagai Perlawanan terhadap Kelupaan

Di era digital ini, dengan arus informasi yang deras dan cepat berganti, kelupaan menjadi ancaman nyata. Kita lupa dengan mudah, tertimpa oleh data dan berita yang terus berdatangan. Sastra menjadi salah satu benteng terakhir melawan kelupaan ini. Sastrawan berani mengingat apa yang oleh masyarakat dipilih untuk dilupakan—trauma kolektif, kesalahan masa lalu, janji-janji yang dikhianati.

Leila S. Chudori dalam Pulang menuliskan pengalaman para eksil politik pasca-1965, mereka yang selama puluhan tahun tidak bisa pulang ke tanah air karena dianggap terlibat dalam G30S. Yang luput dari narasi sejarah arus utama adalah kehidupan para eksil ini, kerinduan mereka, identitas ganda anak-anak mereka, dan trauma yang diwariskan lintas generasi. Leila berani menyentuh luka yang belum benar-benar sembuh dalam sejarah Indonesia.

Martin Aleida dengan Lelaki Harimau menggali mitos dan sejarah lokal Jambi, menangkap lapisan-lapisan cerita yang tersembunyi di balik modernitas. Ia berani mengangkat kisah tentang dendam, kekerasan, dan seksualitas dengan cara yang mitologis namun sangat real. Yang luput dari pandangan kita yang urban dan modern adalah kontinuitas antara masa lalu dan masa kini, bahwa mitos dan kekerasan masa lalu masih hidup dalam tubuh-tubuh kita.

Norman Erikson Pasaribu dengan puisi-puisinya yang berani dan rentan menangkap pengalaman menjadi gay dalam konteks Indonesia yang masih sangat homofobik. Ia menulis tentang hasrat, spiritualitas, dan pencarian identitas dengan kejujuran yang menyayat. Yang luput dari diskusi publik tentang LGBTQ+ adalah kemanusiaan yang utuh dari mereka, bahwa mereka bukan sekadar label atau isu politik, tetapi manusia dengan perasaan, mimpi, dan luka yang sama kompleksnya dengan manusia lainnya.

Dalam karya-karya Intan Paramaditha, kita menemukan eksplorasi tentang horor, gender, dan politik dengan cara yang inventif. Ia menangkap ketakutan-ketakutan yang tidak selalu terartikulasi—ketakutan perempuan akan kekerasan yang bisa datang kapan saja, ketakutan akan kehilangan agensi atas tubuh sendiri, ketakutan akan menjadi korban dalam narasi yang tidak kita kendalikan. Ia berani menggunakan genre horor bukan sekadar untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mengungkapkan horor yang sesungguhnya: horor kehidupan sehari-hari dalam masyarakat yang patriarkis dan keras.

Zen Hae dengan novel-novelnya yang filosofis menangkap pencarian makna dalam kehidupan kontemporer yang sering terasa absurd dan hampa. Ia berani mengajak pembaca untuk merenung, untuk memperlambat, untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar tentang kebahagiaan, kesuksesan, dan hidup yang bermakna. Yang luput dari hiruk-pikuk mengejar target dan prestasi adalah pertanyaan mendasar: untuk apa semua ini?

Bersastra, akhirnya, adalah keberanian untuk tidak lari dari kenyataan yang kompleks, yang tidak nyaman, yang menyakitkan. Adalah keberanian untuk menatap langsung ke mata kegelapan—baik kegelapan sosial-politik maupun kegelapan eksistensial—dan mengatakan: saya melihat kamu, saya mengerti kamu, saya akan bersaksi tentang kehadiranmu. Sastrawan adalah mereka yang menolak untuk pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak lihat, pura-pura tidak peduli.

Dalam tradisi wayang, ada konsep "ngelmu titen"—pengetahuan yang datang dari pengamatan yang teliti dan mendalam. Sastrawan adalah orang-orang yang menguasai ngelmu titen ini dalam konteks kemanusiaan. Mereka mengamati dengan teliti, merasakan dengan dalam, dan kemudian menerjemahkan pengamatan dan perasaan itu menjadi kata-kata yang bisa dibaca oleh orang lain. Dalam proses itu, yang luput menjadi terlihat, yang tersembunyi menjadi terang, yang terlupakan menjadi diingat kembali.

Kita hidup dalam zaman yang dipenuhi oleh kebohongan-kebohongan halus—kebohongan iklan yang menjanjikan kebahagiaan melalui konsumsi, kebohongan politik yang mengemas kepentingan segelintir orang sebagai kepentingan rakyat, kebohongan media sosial yang menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna. Sastra, dengan keberaniannya untuk jujur, menjadi antitesis dari semua kebohongan itu.

Namun kejujuran dalam sastra bukan berarti naif atau simplistis. Sastra yang baik menangkap kompleksitas dan ambiguitas kehidupan. Ia tidak memberikan jawaban yang mudah, tidak menawarkan solusi instan. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk duduk bersama dalam ketidakpastian, untuk merasakan bersama kerumitan eksistensi, untuk merenungkan bersama pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban tunggal.

Di sinilah letak nilai sastra yang sejati: bukan dalam memberikan jawaban, tetapi dalam mengajukan pertanyaan yang tepat; bukan dalam menyelesaikan masalah, tetapi dalam membantu kita memahami masalah dengan lebih dalam; bukan dalam menghibur atau memberikan pelarian, tetapi dalam menghadirkan cermin yang menunjukkan wajah kita yang sebenarnya—dengan segala keindahan dan kengerian yang ada di sana.

Bersastra adalah soal keberanian. Berani mengutarakan apa yang luput dari pengindraan orang-orang. Dan keberanian ini, yang telah ditunjukkan oleh para sastrawan Indonesia dari generasi ke generasi, adalah warisan yang harus kita jaga dan teruskan. Karena tanpa sastra, tanpa para saksi yang berani ini, begitu banyak aspek kemanusiaan kita akan hilang, terlupakan, tidak pernah terartikulasikan. Tanpa sastra, kita akan menjadi lebih miskin—bukan dalam hal materi, tetapi dalam hal pemahaman tentang siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita akan pergi.

Maka, biarkan sastra terus hidup, terus memberontak, terus mengusik. Biarkan para sastrawan terus berani menyelam ke dasar-dasar kesadaran dan membawa kembali mutiara-mutiara kebenaran yang tersembunyi. Karena dalam keberanian mereka, kita semua menjadi lebih berani—lebih berani untuk melihat, untuk merasakan, untuk mengakui, dan akhirnya untuk hidup dengan lebih autentik dan lebih manusiawi.


(November 2025)

Komentar