Pentalogi Piring

I. Geografi Piring

Di sudut meja mahoni, piring putih mengkilap
menampung daging sapi panggang, kentang emas,
sayuran hijau tersusun seperti taman miniatur.
Sementara di ujung kota, piring retak
menampung nasi aking, garam, dan harapan tipis.

Jarak antara kedua piring ini
bukan soal kilometer,
tapi soal kelas yang terukir dalam porselen dan melamin,
dalam rasa yang berbicara bahasa berbeda:
yang satu berbahasa surplus,
yang lain berbahasa defisit.

•••
II. Ontologi Lapar

Lapar bukanlah sekedar perut kosong.
Lapar adalah filsafat eksistensial
yang mengajarkan manusia tentang hierarki kebutuhan,
tentang bagaimana tubuh menjadi kompas moral
yang selalu menunjuk ke arah ketidakadilan.

Anak-anak di permukiman kumuh
mengunyah udara sebagai makanan pembuka,
sementara di restoran mewah
makanan tersisa dibuang ke tempat sampah
seperti puisi yang tidak sempat dibaca.
•••
III. Dialektika Rasa

Rasa manis cokelat Swiss di lidah eksekutif
beradu dengan rasa pahit singkong rebus
di mulut buruh pabrik.
Kedua rasa ini tidak pernah bertemu,
kecuali dalam mimpi dan revolusi.

Piring adalah cermin sosial
yang memantulkan wajah peradaban:
berapa banyak protein dalam demokrasi?
berapa gram karbohidrat dalam keadilan?
berapa vitamin dalam solidaritas?
•••
IV. Metafisika Kenyang

Kenyang memiliki definisi yang elastis.
Bagi yang kaya, kenyang adalah pilihan untuk berhenti.
Bagi yang miskin, kenyang adalah mimpi
yang dijual murah di warung harapan.

Ada yang kenyang dengan uang,
ada yang kenyang dengan utang.
Ada yang kenyang dengan kekuasaan,
ada yang kenyang dengan kesabaran.
•••
V. Epilog: Piring Kosong

Suatu hari, semua piring akan kosong.
Baik piring porselen maupun piring plastik,
baik piring berlapis emas maupun piring kardus.
Kematian adalah demokrat sejati
yang tidak membedakan menu terakhir.

Tapi sebelum hari itu tiba,
mari kita bicara tentang redistribusi lauk-pauk,
tentang bagaimana nasi bisa menjadi jembatan,
tentang bagaimana cinta dimulai
dari berbagi sepiring nasi
dengan yang belum makan.

Karena pada akhirnya,
kemanusiaan diukur bukan dari seberapa penuh piring kita,
tapi dari seberapa banyak piring kosong
yang berhasil kita isi.

•••
Depok, 25 Juli 2025
Fadly Fahry S. Wally

Komentar