Simposium di Warung Kopi


Di warung kopi pojok kompleks perumahan Plato dan Socrates sedang berdebat.

"Negara ideal seharusnya dipimpin filsuf," kata Plato, sambil mengaduk kopi yang sudah dingin. Si penjaga warung mengganti siaran televisi, berita tentang koruptor yang tersenyum di gedung parlemen.

"Aku hanya tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa," jawab Socrates, matanya mengamati layar. "Tapi kenapa mereka yang tidak tahu justru paling yakin bahwa mereka tahu segalanya?"

Plato mengangguk. Cangkir kopinya retak, seperti teori gua-nya yang bocor setelah diterjemahkan ke bahasa kekuasaan.

Di meja sebelah, beberapa pengangguran dengan baju rapi dan dasi mentereng sedang wawancara kerja lewat ponsel. Mereka berlagak seperti sofis, menjual kata-kata indah untuk beli roti.

"Lihat," bisik Socrates, "mereka berkuasa atas kesediaan orang lain untuk ditipu."

Diogenes masuk tiba-tiba, hanya mengenakan kemeja lusuh dan sarung. Dia membawa lentera di siang bolong. "Aku mencari manusia jujur," katanya pada si kasir, "dan hanya menemukan topeng-topeng yang berbicara lewat mulut undang-undang."

Aristoteles datang terlambat dengan kemeja kumal dan dasi yang salah simpul. "Maaf," katanya, "aku terjebak kemacetan logika di persimpangan kepentingan."

Gelas-gelas kopi kosong berdenting seperti argumen yang tak ada isinya. Di pojok ruangan, sebuah televisi mengumumkan kenaikan harga kebenaran minggu depan.

@sastragrafi19

Komentar

Postingan Populer