Sahur Terakhir
Ibu membangunkanku lebih awal. "Sahur, Nak," bisiknya pelan, suaranya bergetar seperti lampu yang hampir kehabisan minyak.
Di meja, hanya ada roti keras dan setengah gelas air. "Ini saja?" tanya adikku. "Ya," jawab Ayah, "langit sedang pelit."
Kakak menyimpan sepotong rotinya di dalam saku. "Untuk nanti," katanya, "kalau-kalau kita masih hidup saat berbuka."
Kami makan dalam gelap. Suara dentuman di kejauhan adalah lonceng sahur yang aneh. Ibu memeluk kami satu per satu, lebih lama dari biasanya.
"Apakah Tuhan sedang tidur?" tanyaku. Ayah membelai rambutku, matanya basah. "Tidak, Nak. Dia sedang menghitung berapa banyak dari kita yang akan sarapan di surga."
Tiba-tiba langit menjadi sangat terang. Bukan fajar, tapi sesuatu yang lain. "Berdoalah," bisik Ibu. "Ini mungkin sahur terakhir kita."
Gencatan senjata tak mengenal puasa. Nyawa kami seperti di antrean: bersiap menunggu giliran kapan saja.
Adikku memejamkan mata. "Terima kasih, Tuhan," ucapnya polos, "untuk roti keras dan air setengah gelas. Dan untuk surga yang kata Ayah memiliki meja makan yang sangat panjang."
(@sastragrafi19)
Komentar
Posting Komentar