Dari Marinetti hingga Meme: Evolusi Manifesto dalam Puisi Avant-Garde
Manifesto, sebagai pernyataan publik tentang tujuan dan prinsip-prinsip artistik, telah menjadi bagian integral dari gerakan avant-garde sejak awal abad ke-20. Evolusi manifesto dalam puisi avant-garde mencerminkan perubahan dalam lanskap sosial, teknologi, dan budaya. Tulisan ini akan menelusuri perjalanan manifesto puisi avant-garde dari era Marinetti hingga era meme digital kontemporer.
1900-1940an
Titik awal yang signifikan dalam sejarah manifesto puisi avant-garde adalah "Manifesto Futuris" yang diterbitkan oleh Filippo Tommaso Marinetti pada tahun 1909. Perloff (2003) menjelaskan bahwa manifesto Marinetti tidak hanya menyerukan revolusi dalam seni, tetapi juga dalam masyarakat secara keseluruhan. Manifesto ini menandai awal era di mana pernyataan artistik menjadi sama pentingnya dengan karya seni itu sendiri.
"Zang Tumb Tumb" (1914) oleh Marinetti adalah puisi suara yang menggambarkan pertempuran:
"zang-tumb-tumb-zang-zang-tuumb tatatatatatatata picpacpam pacpacpicpampampac uuuuuuuuuuuuuu..."
Puisi ini menggunakan tipografi dan onomatopoeia untuk meniru suara perang.
Perlu dipahami bahwa manifesto avant-garde muncul dalam konteks perubahan sosial dan teknologi yang besar. Poggi (2009) menjelaskan bahwa manifesto Futuris Marinetti, misalnya, lahir di era industrialisasi yang pesat, mencerminkan kekaguman sekaligus kecemasan terhadap mesin dan kecepatan. Manifesto ini tidak hanya berbicara tentang seni, tetapi juga tentang visi baru untuk masyarakat.
Lyon (1999) menekankan bahwa manifesto avant-garde tidak hanya berfungsi sebagai pernyataan, tetapi juga sebagai tindakan performatif. Manifesto sering kali dirancang untuk mengejutkan, memprovokasi, dan memaksa pembaca untuk merespons. Ini menjelaskan gaya retoris yang kuat dan sering kali provokatif dari banyak manifesto.
Gerakan Dada, yang muncul sebagai respons terhadap kekacauan Perang Dunia I, membawa manifesto ke tingkat yang baru. Bäckström dan Hjartarson (2014) menganalisis bagaimana manifesto Dada, seperti "L'amiral cherche une maison à louer" (1916) yang ditulis oleh Tristan Tzara, Marcel Janco, dan Richard Huelsenbeck, sering kali merupakan karya seni itu sendiri, mendobrak batas antara teori dan praktik. Ini adalah puisi simultan dalam tiga bahasa yang dibacakan bersamaan, menciptakan kakofoni suara. Manifesto Dada mencerminkan semangat pemberontakan dan absurditas yang menjadi ciri khas gerakan ini.
Memasuki pertengahan abad ke-20, manifesto Surealis André Breton menjadi contoh penting bagaimana manifesto dapat berfungsi sebagai jembatan antara teori psikoanalisis dan praktik puitis. "L'Union Libre" (1931) oleh André Breton,
"My wife whose hair is a brush fire
Whose thoughts are summer lightning..."
Puisi ini menggunakan citra yang tidak biasa dan asosiasi bebas, mencerminkan pengaruh psikoanalisis. Nadeau (1989) menekankan bagaimana manifesto Surealis tidak hanya menetapkan prinsip-prinsip estetika, tetapi juga mengajukan cara baru dalam memahami pikiran manusia.
Dalam banyak kasus, terutama dalam gerakan seperti Dada dan Surealis, manifesto itu sendiri dianggap sebagai karya seni. Somigli (2003) menganalisis bagaimana hal ini mengaburkan batas antara teori dan praktik, antara kritik dan kreasi. Manifesto menjadi ruang eksperimen linguistik dan konseptual.
1950-1990an
Era 1950-an dan 1960-an menyaksikan munculnya berbagai manifesto yang mencerminkan semangat eksperimental dan politis zaman tersebut. "Silencio" (1954) oleh Eugen Gomringer, puisi ini terdiri dari kata "silencio" yang diulang dalam bentuk persegi, dengan ruang kosong di tengah, secara visual merepresentasikan konsep keheningan.
Stephens dan Stansell (2010) menunjukkan bagaimana manifesto Beat Generation, seperti "Howl" karya Allen Ginsberg, menggabungkan elemen puisi dan manifesto, menciptakan hybrid yang kuat antara ekspresi personal dan pernyataan politik. "Howl" (1955) oleh Ginsberg memiliki baris pembuka yang terkenal:
"I saw the best minds of my generation destroyed by madness, starving hysterical naked, dragging themselves through the negro streets at dawn looking for an angry fix..."
Puchner (2006) mengeksplorasi bagaimana manifesto artistik sering kali terkait erat dengan manifesto politik, mencerminkan dan kadang-kadang mempengaruhi gerakan sosial dan politik zamannya. "Sunset Debris" (1991) oleh Ron Silliman terdiri dari serangkaian pertanyaan tanpa tanda tanya, menantang konvensi sintaksis dan makna.
Memasuki era postmodern, sifat manifesto mulai berubah. Seiring waktu, muncul kritik terhadap gagasan manifesto itu sendiri. Huyssen (1986) menunjukkan bagaimana postmodernisme menantang klaim universalitas dan otoritas yang sering menjadi ciri manifesto modernist awal. Puchner (2006) berpendapat bahwa skeptisisme postmodern terhadap narasi besar menghasilkan "anti-manifesto" yang lebih ironis dan self-reflexive. Manifesto tidak lagi dilihat sebagai pernyataan absolut, tetapi lebih sebagai intervensi strategis dalam wacana kultural.
Era 2000-an
Evolusi manifesto sangat terkait dengan perkembangan teknologi. Pressman (2014) menunjukkan bagaimana perubahan dalam teknologi cetak, dari pamflet hingga majalah avant-garde, mempengaruhi bentuk dan distribusi manifesto. Di era digital, blog, media sosial, dan platform berbagi video telah mengubah cara manifesto dibuat dan disebarkan.
Goldsmith (2011) mengeksplorasi bagaimana internet telah demokratisasi produksi dan distribusi manifesto, memungkinkan siapa saja untuk membuat dan menyebarkan pernyataan artistik mereka. Fenomena seperti Flarf Poetry dan Conceptual Writing muncul dengan manifesto yang disebarkan melalui blog dan media sosial.
Flarf Poetry (awal 2000an) seperti "Mm-hmm" (2007) oleh Gary Sullivan Puisi ini dibuat dengan menggabungkan hasil pencarian Google yang aneh dan tidak terduga. Sementara itu, Conceptual Writing (2000an-sekarang) seperti "Traffic" (2007) oleh Kenneth Goldsmith Goldsmith mentranskripsikan laporan lalu lintas selama 24 jam, mengubah teks fungsional menjadi puisi.
Era kontemporer menyaksikan munculnya "meme" sebagai bentuk baru dari manifesto. Shifman (2014) mendefinisikan meme internet sebagai unit budaya yang menyebar, ditiru, dan ditransformasi secara online oleh banyak pengguna. Dalam konteks puisi avant-garde, meme dapat dilihat sebagai evolusi dari manifesto - pernyataan ringkas dan visual yang dapat menyebar dengan cepat dan luas.
Era digital telah mengubah secara radikal cara manifesto diproduksi dan dikonsumsi. Goldsmith (2011) mengeksplorasi bagaimana internet telah memungkinkan munculnya bentuk-bentuk baru seperti "code poetry" dan "network-generated poetry", yang sering kali disertai dengan manifesto yang disebarkan secara viral.
Meskipun banyak manifesto avant-garde memiliki aspirasi internasional, mereka juga sering mencerminkan konteks lokal. Brooker et al. (2013) meneliti bagaimana manifesto diadaptasi dan ditransformasikan dalam konteks budaya yang berbeda, menciptakan dialog antara gagasan global dan ekspresi lokal.
Meskipun bentuknya berubah, fungsi dasar manifesto tetap sama. Seperti yang diargumentasikan oleh Danchev (2011), manifesto terus berfungsi sebagai katalis untuk perubahan, provokasi untuk pemikiran baru, dan artikulasi visi artistik.
...
Evolusi manifesto dalam puisi avant-garde dari era Marinetti hingga era meme mencerminkan perubahan dalam cara seniman berkomunikasi dengan publik dan satu sama lain. Perjalanan ini menunjukkan bagaimana manifesto terus beradaptasi dengan teknologi dan budaya baru, sambil mempertahankan perannya sebagai alat penting untuk ekspresi artistik dan intervensi kultural. Seperti yang ditekankan oleh Caws (2001), manifesto tetap menjadi genre yang hidup dan berevolusi, terus membentuk dan dibentuk oleh lanskap puisi kontemporer.
Beberapa sarjana, seperti Danchev (2011), berspekulasi tentang masa depan manifesto dalam era post-internet. Apakah manifesto akan terus berevolusi menjadi bentuk-bentuk baru, atau apakah kita akan melihat kebangkitan bentuk-bentuk manifesto yang lebih tradisional sebagai respons terhadap krisis kontemporer?
*(@sastragrafi19)
Komentar
Posting Komentar