Nuovo Cinema Paradiso

Esensi Bioskop Klasik, Relasi Sosial, dan Cinta yang Menyejarah
Fadly Fahry S. Wally

Sumber: IMDb
Para Pemeran:
- Phileppe Noiret sebagai Alfredo
- Salvatore Cascio sebagai Salvatore Di Vita (masa kecil)
- Marco Leonardi sebagai Salvatore Di Vita (masa remaja)
- Jacques Perrin sebagai Salvatore Di Vita (dewasa)
- Antonella Attili sebagai Maria/ibu Salvatore (muda)
- Pupella Maggio sebagai Maria (tua)
- Enzo Cannavale sebagai Spaccafico
- Isa Danieli sebagai Anna
- Agnese Nano sebagai Elena Mendola
- Leopoldo Trieste sebagai Romo Adelfio
- Nino Terzo sebagai ayah Peppino
- Giovanni Gincono sebagai Walikota 

Sekilas tentang Film Cinema Paradiso 
“Cinema Paradiso” adalah sebuah film tahun 1988 yang disutradarai oleh Giuseppe Tornatore. Film ini menceritakan kisah seorang direktur teater bernama Salvatore yang kembali ke kampung halamannya di Sisilia, menghadiri pemakaman seorang teman lama bernama Alfredo, seseorang yang mewarnai kehidupannya sebelum meninggalkan kampung halaman. Melalui kisah hidup Salvatore, penonton diajak dalam sebuah perjalanan yang menggugah perasaan tentang kekuatan film dalam menginspirasi menghibur, dan menyatukan orang.
Film ini mendapatkan pengakuan internasional dan memenangkan Academy Award untuk Film Berbahasa Asing terbaik pada tahun 1989, menjadikannya salah satu film terbaik dalam sejarah perfilman Italia. Salah satu yang membuat Cinema Paradiso menarik adalah kemampuannya dalam menangkap kekuatan film sebagai bentuk seni dan media untuk menghubungkan orang. Tornatore menangkap esensi sentimental film-film lama dan belajar bahwa melalui rasa cinta dan pengorbanan, warga kota Sisilia membuka kamera dengan apa yang mereka rasakan.
Ketika Salvatore kecil, ia ‘dibesarkan’ oleh Alfredo, seorang operator bioskop lokal yang memberikan banyak pelajaran tentang proyeksi film, ini adalah pengantar awal Salvatore dan semua yang akan kita lihat adalah kisah hidupnya. Melalui Alfredo, Salvatore mengenal film dan mengembangkan cinta yang dalam untuk medium tersebut. Hubungan yang berlanjut antara Salvatore dan Alfredo menunjukkan kepada penonton seberapa kuat pengorbanan, kesetiaan, dan kasih sayang yang bisa dimiliki oleh seseorang yang benar-benar peduli satu sama lain. Keduanya saling menginspirasi dalam hidup masing-masing, dengan Alfredo menasehati Salvatore untuk meninggalkan kampung halamannya untuk mengejar karir sinematik yang sukses. 
Namun begitu, kenyataan yang sulit harus dihadapi oleh Salvatore saat ia beranjak dewasa, ketika ia menyadari bahwa kampung halamannya tidak sama seperti yang pernah ia kenal. Meski begitu, ia tetap terlalu cinta dengan film untuk meninggalkan begitu saja. Dia pergi untuk mengejar mimpinya, namun ia tetap terus mengingat kenangan indah kenangan teman masa kecil dan pengalaman pertemuan pertamanya dengan dunia film. 
Inti dari film ini terletak pada cinta yang mendalam dan suara hati yang kuat. Film ini mengingatkan kita bahwa cinta dan kesetiaan selalu akan mempertahankan nilai-nilai yang kita pandang tinggi dan rasa ketenangan yang kita cari. Itu juga mencontohkan pembelajaran hidup yang lebih besar: kisah hidup kita menjadi warna dari apa yang kita pandang dan menghargai dalam dunia ini.
Secara keseluruhan, Cinema Paradiso adalah sebuah kisah penuh kesedihan, nostalgia, dan pengharapan tentang cinta dan kesetiaan yang kuat. Film ini telah masuk ke dunia perfilman sebagai masterclass dalam pembuatan film yang terinspirasi kekayaan hati dan akan selalu menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi siapa saja yang menontonnya.

Obsesi Toto Kecil dan Penggambaran Karakter yang Kuat
          Toto (nama kecil Salvatore), seorang anak kecil yang ceria dan enerjik rajin mengunjungi gedung bioskop tua dan satu-satunya di kampung halamannya. Dia suka diam-diam memerhatikan Alfredo, seorang yang bertugas mengendalikan proyektor film, bekerja. Bagi Toto, film dan perangkat pemutarnya ibarat suatu permainan yang menyenangkan. Meskipun dilarang keras oleh Alfredo, Toto kerap kali menyelinap masuk ke ruang pemutaran tempat proyektor berada. 
          Ibunya selalu keras dan melarang Toto untuk pergi ke Paradiso. Namun obsesi Toto begitu besar terhadap film dan proyektor terlebih sejak ia mulai berteman akrab dengan Alfredo. Alfredo pun cukup terkejut dengan antusiasme anak sekecil Toto yang menunjukkan ketertarikan pada pekerjaan yang tidak populer dan tidak menarik minat kaum muda saat itu. Meskipun berulangkali dilarang oleh Alfredo, Toto selalu punya cara untuk menyelinap masuk ke ruang proyektor. Berbeda dengan anak kecil seusianya yang datang ke bioskop untuk menonton film atau bermain dengan teman, perhatian Toto justru teralih pada patung singa yang mejadi tempat bidikan fokus dari proyektor ke layar utama.
          Karakter Toto kecil yang diperankan oleh Salvatore Cascio ini begitu kuat. Ia menampilkan sosok anak kecil yang lincah, pandai, nakal dan ekspresif. Dapat dikatakan bahwa Cascio berhasil membawa penonton menikmati suguhan akting yang maksimal dan mampu memerankan visi karakter tersebut dengan baik. Apalagi ia harus beradu akting dengan lawan main yang notebene adalah aktor dewasa yang lebih berpengalaman. Cascio mampu menyeimbangkan diri dengan tokoh seperti Alfredo, sang ibu, pendeta, dan sejumlah tokoh dewasa lainnya. 

Alfredo: Orang Tua dan Teman Bijaksana
          Toto mulanya hanya dianggap anak kecil nakal yang merepotkan bagi Alfredo. Malam ketika penonton bioksop bubar, Alfredo mendapati Toto yang sedang dimarahi ibunya di di pinggir jalan. Alfredo akhirnya tahu bahwa Toto telah menggunakan uang yang seharusnya digunakan membeli susu untuk mendapatkan karcis bioskop. Mengerti kondisi itu, Alfredo berusaha menenangkan sang ibu dengan mengatakan bahwa Toto masuk ke Paradiso tanpa membayar, dan berdalih telah menemukan uang dimaksud di bawah salah satu kursi penonton. Dari situlah interaksi pertemanan Toto kecil dan Alfredo dimulai. 
          “Terkurung di atas di sini. Lemas di musim panas, membeku di musim hujan. Menghirup asap. Dan bayaranmu hanya ceker ayam. Kadang kau mendengar, saat gedung penuh dengan penonton cekikikan dan tertawa. Lalu kau merasa senang juga. Membuatmu merasa bahagia mendengarkan mereka. Sepertinya kaulah satu-satunya yang bisa membuat mereka tertawa, yang membuat mereka lupa dengan beban mereka. Itu bagian yang aku sukai”. 
Jawaban jujur Alfredo, membuat kita akan terenyuh. Bahwa apa yang ia kejar atau apa yang ia inginkan bukan tentang materi daripada pekerjaan yang ia lakoni, tetapi tentang esensi dari pekerjaan itu. Bagi Alfredo, sesulit apapun pekerjaanya, meskipun tidak populer bahkan di kalangan anak muda, ia tetap bangga dengan apa yang dikerjakannya. Karena terkadang kebahagiaan kita adalah ketika kita dapat membuat orang lain bahagia, melihat orang lain tertawa, menghadirkan apa yang orang butuhkan dalam hidupnya.
          Insiden kebakaran dahsyat menghanguskan seluruh bioskop Paradiso. Alfredo yang bertahan di dalam gedung berusaha menyelamatkan proyektor tua kesayangannya. Sial baginya, api cepat merambat dan turut melahapnya. Toto yang khawatir pada teman tua itu adalah orang pertama yang menemukan Alfredo yang sudah tersungkur tak berdaya. Alfredo harus kehilangan penglihatannya di samping bekas luka bakar di tubuh dan wajah. 
          Sosok Alfredo benar-benar memainkan peran sentral, baik bagi jalinan cerita film secara keseluruhan, maupun terhadap pengembangan karakter Toto pada khususnya. Meskipun kehilangan penglihatan namun Alfredo tak kehilangan perhatian kepada Toto. Di New Cinema Paradiso, Alfredo masih setia mendampingi Toto sebagai penggantinya. Tanpa melihat, Alfredo masih dapat mengajari Toto remaja. Intuisi seseorang yang telah menyatu dengan pekerjaan dan perangkat kerjanya dapat kita simak dari ketokohan seorang Alfredo.
          “Get out of here. This land is cursed. Living here day after day you think it’s the center of world. You believe nothing will ever change. Then you leave for a year or two. When you come back, everything’s changed. The thread’s broken. What you came to find isn’t there. What was yours is gone. You have to go away for a long time, may yearsm before you can come back and find you people. The land where you were born. But not now. Is’t not possible. Right now, you’re more blind than I am. …life isn’t like a movie, life is much harder”.
Petuah Alfredo kepada Toto di tepi pantai, di atas, kemudian yang menjadi titik balik dalam kehidupan Toto remaja. Alfredo percaya bahwa Toto dapat berkembang lebih dari ini hanya jika Toto pergi meninggalkan kampung halamannya. Potensi bakat Toto pada tidak terbatas pada menjalankan proyektor film, dan Toto tidak mesti selamanya menghabiskan hidupnya seperti Alfredo di ruang proyektor. Toto harus keluar dari bioskop dan mulai menemukan jati dirinya melalui film seutuhnya.
Alfredo berpesan sebelum Toto naik kereta, bahwa ia tak boleh menengok ke belakang, tak boleh mengingat apapun di desa, tak boleh menulis surat, tak boleh rindu, dan harus terus menatap ke depan. Adegan perpisahan di stasiun tersebut rupanya menjadi pertemuan terakhir Toto dengan Alfredo, sekaligus menjadi scene sedih yang cukup menguras emosi. Di sini kita dapat melihat karakter Alfredo yang berperan sebagai teman, orangtua, juga guru bagi Toto. Banyak nasehat bijak Alfredo yang dapat ditemui sepanjang film, nasehat yang kemudian hari mengubah kehidupan Toto, seorang anak kecil yang tergila-gila dengan proyektor film bioskop. 

Bioskop Paradiso: Hiburan, Harapan, dan Kehidupan
          Bioskop klasik sangat dihargai oleh orang Italia karena merupakan bagian penting dari sejarah sinema mereka. Bioskop klasik menyajikan film-film lama Italia dengan gaya unik dan khas yang memberikan pandangan tentang kehidupan di Italia pada masa lalu. Selain itu, bioksop klasik juga menampilkan film-film klasik asing dari negara-negara seperti Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat, yang memberikan kesempatan bagi penonton untuk mempelajari budaya dan sejarah lainnya. Berkat bioskop kasik, orang Italia dapat terus menghargai warisan sinema mereka sekaligus mempelajari tentang dunia di luar Italia.
          Dengan latar cerita tahun 40-50an, Cinema Paradiso digambarkan sebagai sarana hiburan masyarakat yang selalu dipadati setiap pemutaran film berlangsung. Di gedung bioskop itu orang berbaur dari segala kelas dan profesi dalam masyarakat. Tidak ada batasan umur maupun gender, siapapun berhak menonton film. Sebagai sarana berkumpul, bioskop Paradiso tidak saja diisi oleh orang yang datang untuk menikmati film tetapi juga untuk ihwal menghibur diri. Terlihat berbagai tipikal orang mulai dari yang serius mengikuti alur film, bergurau dengan orang sekeliling, mencari perhatian, hingga yang datang ke bioskop untuk sekadar tidur saja.
          Dalam gedung New Cinema Paradiso komposisi dan interaksi sosial yang terjalin lebih bervariasi lagi. Kapasitas dan interior gedung jadi lebih modern daripada gedung lama. 
Namun, keberadaan bioskop Paradiso tidak abadi. Karena beberapa alasan, bioskop itu harus ditutup dan para pengunjung harus mencari tempat lain untuk menonton film. Di akhir film, kita dapat menyaksikan bagaimana gedung Cinema Paradiso yang terbengkalai akhirnya diruntuhkan. Melalui kisah ini, penonton dapat melihat betapa pentingnya pengalaman sepenuhnya terhadap bioskop klasik, yang tidak bisa digantikan dengan gadget seperti TV dan layar ponsel pintar masa kini.

Cinematografi
Cinema Paradiso dibuka dengan screenplay eksotik dengan gaya zoom-out. Long shot pemandangan biru air laut yang perlahan mundur hingga akhirnya menampilkan suasana sebuah dengan penampakkan jendela, kursi, meja, dan seorang perempuan tua. Gaya Italia tahun 80-an sangat kental dalam 5 menit di awal film ini. Efek pencahayaan khas sore hari juga jelas terlihat dalam penggambaran suasana ruang keluarga. Dengan jendela yang dibiarkan terbuka dan horden yang diikat di ujung jendela sementara angin laut berhembus menggeraikannya. Timbul kesan yang kuat antara interior ruangan dan hubungan ibu-anak, si perempuan tua dan anak perempuannya. 
          Film ini menggunakan kamera dengan teknik panning dan zooming yang memungkinkan kita untuk melihat dengan jelas setiap detail dari lingkungan dan karakter. Kamera yang digunakan juga berhasil membangun emosi penonton, misalnya pada saat terjadi konflik atau klimaks cerita. Penonton dapat melihat teknik kamera yang cantik. Pencahayaan dalam film ini sangat baik dan menimbulkan suasana nostalgia dengan warna-warna yang lembut meski cukup tajam.              Sifat fisik dari cahaya dalam film sangat menonjolkan keindahan objek yang filmnya tampilkan. Misalnya, adegan di mana Toto berlari-lari dalam gang-gang kecil dengan latar belakang cahaya kuning sangat efektif dalam menciptakan suasana kota kecil Italia yang hidup. Framing dalam film ini dapat dimaknai sebagai penekanan pada karakter dengan titik pandang melalui sudut pandang sang sutradara. 
          Soundrack Cinema Paradiso merupakan kekuatan terbesar dalam menciptakan suasana. Iringan musiknya sangat memainkan peranan penting dalam menggambarkan suasana cerita dan waktu yang sedang digambarkan. Keindahan drama ini mengalir lebih dalam dan sempurna berkat bantuan iringan musik mempesona dari Ennio Morricone. Morricone adalah salah satu composer legenda yang patut disejajarkan dengan Mancini, Barry, dan Williams. Theme song film ini akan membawa penonton semakin terbawa, hanyut, dari alunan musik masterpiece-nya. Nuansa musik klasik sepanjang film sangat tepat dan dapat meningkatkan emosi penonton.
          Selain itu, pengeditan gambar sebuah material yang efektif dan dapat mempengaruhi perasaan penonton terhadap cerita yang disampaikan. Aspek cinemagrafi tersebut, kesemuanya berhasil menghadirkan pengalaman sensasional bagi para penonton dan membuatnya merasa terlibat dalam cerita, dan memungkinkan mereka untuk merasakan suasana yang tercipta dalam film. Sutradara Giuseppe Tornatore menyajikan sebuah drama flashback yang tidak hanya bertabur dengan kesenangan, kesedihan, keharuan, hingga duka menjadi satu.
 
Sejumlah Kritik terhadap Cinema Paradiso
1. Status Sosial Pengunjung Paradiso
Dalam beberapa scene di bioskop Paradiso (lama), kita dapat melihat adanya pembedaan kelas antar penonton. Pembedaan itu jelas terlihat pada polarisasi penonton di lantai 1 dan 2. Jajaran penonton di lantai 2 secara eksklusif diisi oleh para orang kaya sementara lantai 1 diisi oleh masyarakat menenangah ke bawah. Pemandangan ini tidak begitu terang dijelaskan dalam film namun dapat ditelisik jika kita menyadari tingkah laku penonton bioskop Paradiso. Potret ini menggambarkan adanya keistimewaan bagi masyarakat yang memiliki kedudukan lebih dari segi harta maupun kedudukan tertentu. 
Bukti paling nyata ketika membicarakan unsur tersebut dapat disimak ketika seorang pria yang berada di lantai 2 dengan sengaja meludah ke bawah karena merasa risih dan tersinggung dengan lagak penonton lantai 1 yang rebut dan penuh sesak. 
3. Kisah Salvatore Remaja
Ada yang sedikit berbeda ketika Salvatore beranjak remaja. Ada bagian ini, sedikit banyak terfokus pada kisah cinta Toto, tentang obsesinya pada seorang gadis. Meskipun kita masih dapat melihat aktivitasnya di ruang proyektor dengan intensitas pemutaran film yang sudah menjangkau bioskop selain New Paradiso. Toto remaja pun terlihat mulai menekuni dunia film dengan mengambil sejumlah gambar dengan kameranya. Namun poin dominan dari penjiwaan Toto remaja ini adalah tentang hasratnya pada wanita bukan bioskop dan film semata.
4. Stereotip Italia yang Berlebihan
Menyaksikan Cinema Paradiso tentu kita akan menangkap sejumlah potret kehidupan masyarakat Italia di seluruh adegan film. Meskipun dominan menyoroti kehidupan di desa terpencil, bukan kehidupan kota. Beberapa kritikus merasa bahwa film ini menggambarkan stereotip Italia yang berlebihan, dengan suasana pedesaan yang indah, orang-orang yang ceria, dan kehidupan yang santai. Hal ini tidak selalu mencerminkan realitas sosial yang ada di Italia.
5. Klise
Beberapa pengkritik juga menilai bahwa cerita dalam film ini terlalu klise. Kebanyakan plot film sering dipakai dalam genre film lain dan tidak ada yang terlalu baru dari inti cerita film ini. Salah satu bagian yang kurang menarik reaksi penonton adalah ending film yang menampilkan tayangan flashback ketika Salvatore dewasa menonton kembali potongan adegan dari pita film yang disambung Alfredo. Bagian ini kurang menghadirkan kedalaman ekspresi dari Salvatore.
6. Tidak Memanfaatkan Konteks Sejarah
Walaupun latar film ini terjadi di masa lalu, Cinema Paradiso tidak memanfaatkan konteks sejarah pada saat itu dengan baik. Sehingga memunculkan kesan cerita tersebut dapat terjadi di masa kini. Padahal jika dapat dikaitkan dengan konteks sejarah pada masa itu, film tersebut dapat lebih kaya lagi dalam mengeksplorasi suasana dan waktu.
7. Terlalu Sentimental
Naskah film ini terlalu sentimental dan manis, bahkan hingga klise dalam akting beberapa adegan yang seharusnya ditampilkan tidak cukup lama sehingga terkesan terburu-buru. 

Kesimpulan
Film Cinema Paradiso menggambarkan keindahan dari bioskop klasik dan mengajarkan kita bahwa film bukan hanya sekadar gambar bergerak, melainkan juga merupakan kisah hidup yang bisa memberikan inspirasi dan hiburan. Bioskop itu terletak di desa kecil di Italia. Para pengunjung dapat menonton film-film dari berbagai genre, mulai dari komedi hingga drama sepenuh hati. Anak lelaki kecil bernama Toto (Salvatore) memiliki obsesi dengan bioskop ini dan sering berada di sana setiap hari. Toto kemudian menjadi sangat dekat dengan Alfredo, penjaga bioskop yang berperan sebagai mentornya.
          Salvatore kecil digambarkan sebagai anak yang cerdas dan penuh semangat, serta sangat dekat dengan ibunya. Toto memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang dunia di sekitarnya, termasuk dorongan kuat untuk belajar tentang bagaimana membuat film dan berada di balik layar. Toto terlibat dalam berbagai petualangan dan kesulitan yang membentuk karakternya menjadi sosok yang lebih matang dan bijaksana di kemudian hari. Dalam seluruh perjalanan hidupnya, penggambaran Salvatore kecil dalam film tersebut dapat dilihat sebagai seorang anak yang bersemangat dan penuh hasrat, yang membujuk dia untuk mengejar impiannya yang besar dan mengubah hidupnya menjadi pengaruh yang lebih besar.
          Melalui hubungan antara Toto dan Alfredo, penonton dapat melihat pentingnya pengalaman menonton film di bioskop klasik. Mereka bukan hanya menonton film dan pergi begitu saja, melainkan bisa merasakan suasana yang berbeda dari ruangan yang penuh pendingin udara dan kursi teater. Mereka dapat merasakan kegembiraan dan kekaguman bersama-sama, serta merasakan hubungan sosial dengan teman-teman dan keluarga mereka.
          Cinema Paradiso menyajikan banyak kebahagiaan, tetapi juga rasa sakit dan kehilangan yang nyata. Film rilisan tahun 1988 ini memiliki ciri-ciri karya neorealis Italia setelah Perang Dunia Kedua, bahkan melampaui gerakan tersebut dengan kualitasnya yang seperti mimpi dan fantastis. Menurut Wiliam Stotor (2021) Cinema Paradiso adalah tindakan penyeimbang, dan ahli dalam neorealis. Film tersebut menantang penonton untuk bermimpi, berefleksi, mendasarkan diri pada kenyataan, tetapi juga merangkul keindahan hidup.
 

Komentar

Postingan Populer