AKUMULASI ARTIKULASI
Sebuah memo berjilid
Bunga rampai*
Bunga rampai*
Dokumentasi pribadi
Hai, apa kabar? Sudah lama ya, sejak Desember pertama kita yang hangat tertambat.
Sebenarnya “apa kabar?” itu hanya pertanyaan basa-basi. Maksudku, itu tidak perlu. Kita masih saling melihat, meski maya.
Baiklah. Aku menulis ini bukan untuk apa-apa. Aku hanya sedang bersemangat. Ini tahun yang penuh bahagia. Kamu tahu, aku selalu ingin membagikan sesuatu bernama Bahagia. Sebab, kalau aku menyimpannya sendiri, aku tak akan sanggup. Ia meledak-ledak dalam dada, ia terlalu menggemaskan. Tentu saja ia berhubungan denganmu. Iya, kamu.
Aku merasa seperti sedang tumbuh lagi. Seperti pohon birkin yang dipenuhi sarang nuri. Dahan-dahanku kini cukup kuat untuk dihuni, dan untuk ditinggalkan suatu saat. Akarku cukup dalam menjalar di tanah. Aku sudah nyaman dengan angin segala musim. Tidak seperti saat terakhir angin kemaraumu menyambarku tiba-tiba.
Kehidupan memang menakjubkan. Menyenangkan mendapati diri tumbuh dewasa. Daun-daunku kini bijak menghadapi pergantian cuaca. Bunga-bunga cukup lihai mekar dalam segala kondisi. Tidak lagi rapuh seperti terakhir kali musim gugurmu menghentak labilku.
Aku mantap berdiri menatap puncak demi puncak. Titik demi titik capaian dalam petualangan terbit dengan berani. Sejak kau pergi, aku belajar lebih banyak. Semesta tidak tidur melihat mimpi berpacu. Sebagaimana rasi bintang terbentuk di angkasa yang jauh. Kita hidup dengan seonggok keyakinan, pelita yang menerangi di antara ujian hidup yang gelap. Aku pernah padam ketika pelitamu redup di jantung. Yang selama itu kuterka nyaliku yang mengendap di paru-paru.
Segala hal berubah teratur.
Apakah kamu tumbuh dengan baik? Aku masih selalu menjangkau penasaran dengan hati-hati. Bohong jika aku tak pernah memerhatikanmu. Aku tak mengerti soal jarak yang dapat diukur. Penasaran tumbuh menembus batas-batas bujur. Selama matahariku dan mataharimu, rembulanku dan rembulanmu masih sama, selama itu kita adalah semesta yang sama. Semesta yang berusaha menjadi lebih baik, yang memilih mengorbit di lintasan masing-masing tanpa takut kehilangan.
Waktu makin subur ya? Aku rindu.
Sebenarnya rindu itu wajar. Kadang dalam hidup, kita mengalaminya beberapa kali. Dengan alasan yang beragam, rindu hadir. Ia menyelinap dalam tubuh sebagaimana hela nafas. Ada yang menyebut ia muncul dari hati. Ada juga yang bilang ia keluar dari selaput ingatan. Darimana pun ia, aku tak peduli.
Rindu, ia membuat hawaku yang sunyi, bernyanyi.
Sudah lama ya, sejak Desember terakhir kita kehilangan kata-kata.
***
Desember 2019
Komentar
Posting Komentar