Sepotong Kabar Gelisah

Sebuah Prosa

Kepada kawanku, tentang 'Kamu'

      Kawan, sedang apa kau di sana? Maukah dengar curahanku, aku bimbang, kawan. Sewindu berpuisi, memuja-muji sang pujaan hati. Tapi, tak jua dapat aku miliki. Kawan, aku bertanya-tanya pada diri sendiri, layakkah lagi aku perjuangkan selika rasa ini? Kau tahu, aku tak seharmonis barisan-barisan sajak yang aku tulis. Keberanianku membatu. Di balik kata-kata, sembunyi ragaku. Aku mencintainya, gamblang menyuarakannya. Tapi kawan, puisiku ternyata hanya menjadi tembok semata, gerbang pemisah antara mimpi dan kenyataan.
        Kawan, haruskah aku bertahan? Menyusun dengan sabar kisah rumit yang kusebut ‘mozaik’ ini. Aku juga lelaki, kawan. Gadis-gadis manis sering hilir mudik, membuka ruang, menggoda rayu. Tapi kawan, kau tahu, sebuah kapal layar besar telah melabuhkan jangkar di dermaga pilihannya. Tak akan lagi melaut. Menepi, menghabiskan senja di bibir pantai yang megah. Iya, menambatkan jangkar, kawan.
       Aku selalu bilang bahwa hidup dipenuhi tanda tanya yang harus dijawab, oleh diri sendiri. Aku mencoba menjawab tanda tanyaku sendiri. Bahkan terkadang mencari alternatif jawaban lain. Tapi kawan, kau tahu, dia masih saja menjadi jawaban terbaik hingga saat ini. Di antara segala pilihan rasional, dia adalah keyakinan yang belum mampu digoyahkan opsi manapun. Aku sudah mencoba memilah-milih beberapa opsi, kawan. Dan dia, seperti Everest, puncak yang tidak bisa diimbangi gunung manapun di muka bumi.
       Aku selalu cerita padamu, dia adalah awal detak jantung tak biasa, yang pada waktu kemudian kusebut ‘cinta’. Iya, cinta, kata yang aku dapat maknanya dari persemedian melawan segala gejolak rayu di dada. Detak jantung yang menjulur ke seluruh tubuh. Membuatku merinding. Dingin. Ingin.
Aku pernah menampar mukaku. Kawan, untuk merangkai sebuah mimpi besar, seseorang kadang perlu meyakini diri sendiri dengan memastikan bahwa ia tak sedang tertidur ketika bermimpi. Kau tak bisa mewujudkan mimpi jika kau tidur kawan. Mimpi itu butuh bangun. Dan aku tak ingin tidur dengan hanya membayangkan dia. Semakin dangkallah mimpi jika mimpi diselimuti bayang. Aku takut kawan, sebab kebanyakan pemimpi yang tak mau bangun akan jadi gila. Aku menampar mukaku memastikan bahwa aku masih sadar, aku tidak ingin gila seperti para pujangga cinta masa lalu.
      Aku semakin bimbang ketika aku dapati mimpiku rupanya terkurung di buku. Terkurung di baris-baris kaku. Menjadi kalimat-kalimat bisu. Memamparkan mimpi-mimpi besar yang semangatnya lesu. Jari jemariku menari, tapi kakiku, gerak pun urung. Bahkan alam imaji terus bergolak. Dengan liar membayang rindu-rindu terlarang. Merakitnya, menjadi bukit. Lalu runtuh, terbawa banjir air mata jiwa.
      Kawan, aku harus apa? Hasrat dan realita berkelahi. Aku berdiri, berdiri tegar. Menjadi saksi mimpiku yang seperti roda, berputar, tak berhenti. Entah kemana bergulir. Aku terbawa arus, kawan. Albert Einstein benar, imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Aku termakan mentah-mentah kalimat bijak seseorang yang gila ilmu pengetahuan, sedang terasing dari dunia.
Kawan, kau sedang apa di sana? Kau harus dengar curahanku, aku gelisah, kawan.

Fadly Fahry S. Wally

Komentar

Postingan Populer