Sebuah Prosa, 2006
2006, Tahun Kenangan
...
Hujan telah membawanya kembali pada ingatan masa lalunya. Baginya, kehidupan yang sekarang semuanya adalah produk sejarah. Begitupun ia. Dari masa lalu itu yang telah membuatnya seperti sekarang ini. Ia telah merasakan segala hal yang membuat bisa bertahan. Sampai kapanpun ia akan tetap mengingatnya. Katanya, ia seperti melihat dirinya yang sesungguhnya pada masa itu, bukan seperti ia yang saat ini. Baginya, ia telah banyak berubah. Bukan hanya karena waktu, tetapi karena orang-orang yang silih berganti satu per satu dalam hidupnya.
Hujan telah membawanya kembali pada ingatan masa lalunya. Baginya, kehidupan yang sekarang semuanya adalah produk sejarah. Begitupun ia. Dari masa lalu itu yang telah membuatnya seperti sekarang ini. Ia telah merasakan segala hal yang membuat bisa bertahan. Sampai kapanpun ia akan tetap mengingatnya. Katanya, ia seperti melihat dirinya yang sesungguhnya pada masa itu, bukan seperti ia yang saat ini. Baginya, ia telah banyak berubah. Bukan hanya karena waktu, tetapi karena orang-orang yang silih berganti satu per satu dalam hidupnya.
Dulu, ia sempat terpuruk dan putus asa semenjak berpisah
dengan orang-orang yang ia cintainya. Nenek, saudara, sahabat, tetangga, sampai
orang yang ia tidak kenal sekalipun. Ia merasa hidup hanya menambah lara,
apalagi dengan kesendirian seperti itu. Namun, perlahan ia coba yakini hatinya
sendiri untuk tidak lemah akan perasaan kesendirian itu.
Pikirannya seperti terbuat dari partikel-partikel inti atom
yang membuatnya sangat kritis dengan keadaan di sekelilingnya. Dari nyata
sampai yang abstrak sekalipun. Ia memang pria yang punya pemikiran cukup rumit. Bahkan, ia sendiri kadang tidak mengerti dengan apa yang sedang ia
pikirkan. Tapi ia sadar betul, hanya dengan berpikirlah dunia bisa ia gambarkan
dalam dirinya. Baginya, ia sudah dirancang khusus sebagai pemikir. Dan ia
tanamkan itu di dalam batinnya.
Karya-karya yang ia cipta tidak lain lahir dari hasil
pemikirannya sendiri. Ia mempunyai sudut pandang tidak mudah ditebak, bahkan
olehnya sendiri. Karena baginya, apa yang sedang terlintas di kepala baiknya
segera ditulis sebelum semuanya akan benar-benar hilang. Ia sangat menghargai
alam ide, baik ide yang tersusun matang maupun ide yang datang tiba-tiba tidak
pernah ia sia-siakan. Ide yang sama itu tidak datang dua kali, katanya.
Ia punya banyak cerita indah saat hujan. Itulah mengapa
kala musim hujan tiba, ia selalu mengenangnya kembali. Menurutnya, tidak ada
ingatan yang mesti dihapus, karena itu hanya akan membuat rancu sejarah. Dan ia
tidak ingin kisah sejarah hidupnya terpotong-potong. Ia memang selalu bermimpi
bila suatu saat ia akan masuk dalam buku sejarah bangsa dan dunia. Dan ia
tengah menatanya kini dengan pilihan hidupnya menjadi sastrawan yang mencintai
dunia sosial.
2006. Tahun dimana ia mulai memasuki dunia imajinasinya
yang luar biasa. Sahabat adalah sumber inspirasi terbesarnya saat itu. Sahabat-sahabatnya
yang memberinya ruang untuk menjadi dirinya
sendiri. Ia begitu mencintai sahabatnya. Sahabat adalah segalaya,
katanya. Apapun takkan menggantikan mereka, apapun.
Pertengahan tahun 2006 adalah titik balik hidupnya. Musim
hujan tiba. Pikirannya seperti tercekik. Berpikir, terus berpikir, tidak ingin berhenti. Ada
yang sebentar lagi akan pergi darinya, terenggut darinya. Sahabatnya, kisah
indahnya. Seperti sebuah keharusan yang mesti dijemput. Ini bukan mengenai waktu, tetapi keadaan yang
menggarisi segalanya.
Juni 2006, hatinya, jiwanya, hidupnya, makin rancu,
makin pilu. Ia tak ingin hari itu ada, ia tak menghendaki hari itu terjadi.
Sabtu, 9 Mei. Himne guru, Kemesraan, adalah lagu yang membuatnya selalu akan
mengenang hari itu. Sedikit rintik air mata, ada kebahagiaan yang juga
terpancar, tapi hatinya semakin rapuh. Hancur. Luluh. Mengapa selalu ada
perpisahan di ujung sebuah cerita, ia bertanya.
Hari itu. Langkahnya berat untuk meninggalkan tempat itu.
Tempat yang selama ini memberinya mimpi. Memberinya keindahan imajinasi. Tempat
yang merekam semua ekspresi alamiahnya. Tempat ia menjadi dirinya sendiri.
Hari itu. Tatapannya tak ingin beranjak dari wajah-wajah
itu. Wajah-wajah yang selama ini ia anggap orang-orang terbaik yang pernah ada.
Orang-orang yang luar biasa, baginya. Gurunya, teman-temannya, sahabat-sahabat
terbaiknya, sepanjang masa. FADS, geng empat sekawannya. Mereka yang selalu ada dalam kamus hidupnya.
Yang untuknya takkan ia ganti oleh siapapun. Namun, ia tak ingin berharap
apapun. Karena dalam hatinya, mereka masih tetap hidup dalam alam imajinasinya,
alam khayalnya yang siapapun belum tentu mengerti.
Hari yang tak pernah terbayangkan akan benar-benar ada.
Hari yang dulu ia ingin mengucapkan banyak kata, mempersembahkan beberapa
ungkapan. Yang akhirnya tak sempat ia utarakan. Bagaimana? Kapan? Dengan cara
apa? Mengapa? Ia tidak menemukan saat yang tepat menunjukkan semua itu. Ia
masih terlalu larut dalam bayang-bayang hari esok. Tanpa sahabat-sahabatnya,
tanpa gurunya, tidak lagi tempat yang ia akrabi sekian lama.
Berpikir, berpikir, berpikir. Yang entah apa. Yang entah
mengapa. Tapi ia harus tetap meneruskannya, karena alam pemikirannya sudah
begitu menyatu dengan jiwanya, sudah begitu satu dengan inderanya. Esok ya…ada
apa di situ? Dan mesti sendiri, tapi bagaimana bisa, nantii.., lantas aku? Tanya-tanya buram tertanam di kepalanya.
Sahabat…teman, tempat ini, guru-guru itu. Pandangannya
makin luas. Makin menusuk ke semua penjuru. Berusaha merekamnya ke memori. Ke
ingatannya yang sangat peka. Ia belum ingin kehilangan apapun. Ia belum
menemukan bayangan pasti untuk esok, yahh esok. Dan, tanpa mereka.
Ia menatap keluar jendela. Mendung seperti biasa.
Sepertinya akan turun hujan. Yah, hujan. Kemarin juga hujan. Tapi beda dengan
hari ini. Kemarin masih hangat. Mungkin, hari ini akan mulai terasa dingin.
Apalagi bila semuanya akan benar-benar pergi. Tidak ada lagi selimut. Yah,
mereka.
Satu per satu jatuhan air mulai turun. Mulai basah. Mulai
dingin. Agak dingin. Jantungnya juga. Tangan juga. Kakinya, apalagi. Masih
gerimis. Tempat itu benar-benar beraura. Aura yang campur aduk. Ada yang ingin
menangis. Ada yang tersenyum. Ada yang berbahagia. Ada yang tidak mengerti. Dan
ada juga belum benar-benar siap. Seperti dia.
Dan, selang hujan. Baginya itu suatu pertanda. Mungkin
jeda. Sebuah akhir, sebuah awal. Ia dan yang lainnya sedang berada diantara
keduanya. Kemarin, kemarin, kemarinnya lagi. Di tempat yang sama. Masih cukup
hangat. Ia bersama yang lainnya turut menadah hujan. Larut. Hanyut. Riang.
Baginya, kebersamaan adalah kehangatan, juga yang lain.
Sabtu pagi, 9 Juni. Seperti hari yang kritis. Ada yang akan
pergi. Dan, hujan seakan ingin menjemput semua itu. Menyudahi sebuah masa. Masa
yang terangkai dalam album biru. Tentang etimologi sesungguhnya sebuah
persahabatan. Pengembaraan tiada akhir. Yang kini, mesti diakhiri. Hening. Sayup. Makin layu. Sesaat lagi,
akan jadi ganjil. Hujan akan membuat suasana ini larut. Yah, larut dan
tergenang air mata.
Kami terlalu muda untuk mengerti. Kami masih terlalu lugu
untuk mengartikan keadaan ini. Kami masih hijau. Bagai ladang savana yang baru
tumbuh. Mengakrabi angin, tanah, embun, matahari, langit, dan rembulan. Sebuah
kisah layaknya petuah lama. Hikayat waktu yang terurai indah dalam liukan
alunan sejarah. Hidup layaknya alur. Berjalan, mengalir, dan terus. Hingga,
akan menemu sobekan kertas ditengahnya yang harus dilangkah. Dan, sobekan
kertas itu adalah sebuah jeda. Entah berapa lama. Atau mungkin, tak lagi
kembali. Hingga mengganti buku baru. Cerita baru.
Mungkin, kemarin, hanya akan jadi klise abu-abu. Tergelegak
bisu di bingkai rapuh. Patah tumbuh hilang membatu. Mekar layu, mati membeku.
Sebuah kisah layaknya layangan warna-warni, putus kelak angin menyambar. Putus
kelak benang menyambar. Melayang jauh, lenyap di belantara.
Atau kisah layaknya rumah tua. Yang suatu saat akan
disinggahi. Dirindui anak-anak. Ingin bersuara lagi. Ingin ditinggali lagi.
Rindu akan hangat keluarga kecil. Ayah, ibu, kakak, adik, saudara. Ingin
dijamahi lagi. Menghidupi cinta yang takkan usai. Cinta sejati.
...
Komentar
Posting Komentar