EPISTEME DAN KESENYAPAN
Dalam diastole waktu yang memanjang,
kusadari fenomena kesadaran—
sebuah apofenia terhadap realitas
yang tersembunyi dalam interstisial kehampaan.
Ah, manusia dengan epistemnya yang rapuh,
mencari teleologi di balik setiap kejadian,
namun hanya menemukan apokatastasis
dalam lingkaran hermeneutika yang tak berkesudahan.
Aku berdiri di antara dikotomi eksistensi,
merasakan anomie yang menggerogoti jiwa,
sementara diaspora pikiran berkelana
mencari eudaimonia dalam labirin ontologis.
Pernahkah kau merasakan acedia itu?
Ketika melankolia menjadi episteme,
dan setiap silogisme berakhir sia-sia
dalam apotheosis kekosongan yang tak terbantahkan.
Di sini, dalam solipsisme yang mencekam,
aku merenung tentang kausalitas kehidupan—
apakah semua hanya kontingensi belaka,
ataukah ada determinisme tersembunyi?
Dalam aforisme Nietzschean yang kelam,
"Tuhan telah mati," gumamku dalam sunyi,
namun masih tersisa kerinduan transendental
pada sesuatu yang imanen namun tak terjangkau.
Maka kubiarkan diri dalam ekstase kontemplasi,
mencari katarsis dalam puisi ini,
berharap ada cahaya di ujung baris—
sebuah wahyu dalam kegelapan metafisika.
Karena pada akhirnya, dalam finalitas waktu,
kita semua hanyalah partikulat kesadaran
yang berusaha memahami universalia keberadaan
dalam kontinum ruang-waktu yang relatif.
Jakarta, dalam keheningan epistemologis
September 2025
kusadari fenomena kesadaran—
sebuah apofenia terhadap realitas
yang tersembunyi dalam interstisial kehampaan.
Ah, manusia dengan epistemnya yang rapuh,
mencari teleologi di balik setiap kejadian,
namun hanya menemukan apokatastasis
dalam lingkaran hermeneutika yang tak berkesudahan.
Aku berdiri di antara dikotomi eksistensi,
merasakan anomie yang menggerogoti jiwa,
sementara diaspora pikiran berkelana
mencari eudaimonia dalam labirin ontologis.
Pernahkah kau merasakan acedia itu?
Ketika melankolia menjadi episteme,
dan setiap silogisme berakhir sia-sia
dalam apotheosis kekosongan yang tak terbantahkan.
Di sini, dalam solipsisme yang mencekam,
aku merenung tentang kausalitas kehidupan—
apakah semua hanya kontingensi belaka,
ataukah ada determinisme tersembunyi?
Dalam aforisme Nietzschean yang kelam,
"Tuhan telah mati," gumamku dalam sunyi,
namun masih tersisa kerinduan transendental
pada sesuatu yang imanen namun tak terjangkau.
Maka kubiarkan diri dalam ekstase kontemplasi,
mencari katarsis dalam puisi ini,
berharap ada cahaya di ujung baris—
sebuah wahyu dalam kegelapan metafisika.
Karena pada akhirnya, dalam finalitas waktu,
kita semua hanyalah partikulat kesadaran
yang berusaha memahami universalia keberadaan
dalam kontinum ruang-waktu yang relatif.
Jakarta, dalam keheningan epistemologis
September 2025
Fadly Fahry S. Wally



Komentar
Posting Komentar