1 Juni dan Lima Sila yang Tak Kunjung Pulang
Hari ini kita merayakan kelahiran sebuah gagasan
yang lahir dari rahim sejarah yang berdarah,
dari mulut-mulut yang lelah berdebat
tentang bagaimana cara hidup bersama
dalam satu rumah yang bernama Indonesia.
Delapan puluh tahun sudah
lima sila itu berkelana mencari rumah
di negeri yang katanya sudah menjadi rumahnya sendiri,
seperti anak yang tersesat di kampung halamannya
karena terlalu banyak jalan yang berubah.
Ketuhanan Yang Maha Esa—
sila pertama yang mengajarkan kita bahwa Tuhan
tidak pernah meminta kita saling membunuh
atas nama-Nya, tapi kita lebih suka berteriak
dengan cara yang membuat-Nya menangis.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab—
kata-kata indah yang tertulis di marmer
sementara di sudut-sudut kota masih ada yang tidur
di bawah jembatan, di trotoar yang dingin,
dianggap tidak cukup manusia untuk dipedulikan.
Persatuan Indonesia—
kita bersatu dalam upacara bendera
tapi terpecah dalam kehidupan sehari-hari
oleh SARA, oleh kepentingan, oleh ego
yang lebih besar dari cinta pada tanah air.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan—
sila terpanjang untuk hal yang paling sederhana:
bagaimana caranya duduk bersama, berbicara baik-baik,
dan mencari jalan tengah tanpa saling mencaci.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—
mimpi yang masih tidur di atas kertas,
sementara kesenjangan menganga seperti jurang
yang memisahkan mereka yang tidur di kasur empuk
dan mereka yang tidur di atas aspal.
Pancasila bukan hanya lima kalimat
yang dihafalkan murid-murid sekolah setiap Senin pagi.
Pancasila adalah cara hidup, filosofi bangsa
yang seharusnya mengalir di pembuluh darah
setiap keputusan yang kita buat.
Tapi hari ini, di hari kelahirannya,
aku bertanya: dimana Pancasila sebenarnya tinggal?
Apakah di Monas yang tinggi menjulang,
di gedung-gedung pemerintahan yang megah,
atau di hati rakyat yang masih percaya
bahwa Indonesia bisa lebih baik dari ini?
Ada yang bilang Pancasila sudah usang,
tidak relevan dengan zaman yang serba digital ini.
Tapi mereka lupa bahwa kebutuhan manusia
untuk diperlakukan secara adil dan manusiawi
tidak pernah usang, tidak pernah kedaluwarsa.
Bung Karno pernah berkata bahwa Pancasila
digali dari bumi Indonesia sendiri,
dari nilai-nilai yang sudah hidup berabad-abad
di nusantara ini, jauh sebelum kita
belajar tentang demokrasi dari bangsa lain.
Gotong royong bukan import dari luar negeri.
Tenggang rasa bukan hasil terjemahan dari buku asing.
Bhinneka Tunggal Ika sudah dipraktikkan nenek moyang
jauh sebelum ada yang namanya sosiologi
atau antropologi budaya.
Mungkin yang kita butuhkan bukan merayakan
Pancasila dengan upacara dan pidato-pidato,
tapi dengan cara hidup yang mencerminkan
lima sila itu dalam tindakan nyata
setiap hari, setiap saat.
Mulai dari hal sederhana:
tidak mem-bully orang yang berbeda agama,
tidak meremehkan orang yang berbeda suku,
tidak mengambil hak orang lain,
dan tidak tutup mata pada penderitaan sesama.
Hari ini, di hari kelahiran Pancasila,
aku berdoa agar lima sila itu tidak selamanya
menjadi tamu di negeri sendiri,
tapi benar-benar pulang dan tinggal
di rumah yang bernama Indonesia.
Karena Pancasila bukan hanya milik masa lalu
yang perlu dikenang dengan nostalgia.
Pancasila adalah masa depan yang masih menunggu
untuk diwujudkan oleh tangan-tangan
yang masih percaya pada keajaiban kebersamaan.
Dan suatu hari nanti, ketika cucu-cucu kita
belajar tentang sejarah bangsa ini,
mereka tidak akan bertanya: "Dimana Pancasila?"
tapi akan berkata: "Inilah Indonesia yang dipimpin
oleh lima sila yang sudah menemukan rumahnya."
yang lahir dari rahim sejarah yang berdarah,
dari mulut-mulut yang lelah berdebat
tentang bagaimana cara hidup bersama
dalam satu rumah yang bernama Indonesia.
Delapan puluh tahun sudah
lima sila itu berkelana mencari rumah
di negeri yang katanya sudah menjadi rumahnya sendiri,
seperti anak yang tersesat di kampung halamannya
karena terlalu banyak jalan yang berubah.
Ketuhanan Yang Maha Esa—
sila pertama yang mengajarkan kita bahwa Tuhan
tidak pernah meminta kita saling membunuh
atas nama-Nya, tapi kita lebih suka berteriak
dengan cara yang membuat-Nya menangis.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab—
kata-kata indah yang tertulis di marmer
sementara di sudut-sudut kota masih ada yang tidur
di bawah jembatan, di trotoar yang dingin,
dianggap tidak cukup manusia untuk dipedulikan.
Persatuan Indonesia—
kita bersatu dalam upacara bendera
tapi terpecah dalam kehidupan sehari-hari
oleh SARA, oleh kepentingan, oleh ego
yang lebih besar dari cinta pada tanah air.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan—
sila terpanjang untuk hal yang paling sederhana:
bagaimana caranya duduk bersama, berbicara baik-baik,
dan mencari jalan tengah tanpa saling mencaci.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—
mimpi yang masih tidur di atas kertas,
sementara kesenjangan menganga seperti jurang
yang memisahkan mereka yang tidur di kasur empuk
dan mereka yang tidur di atas aspal.
Pancasila bukan hanya lima kalimat
yang dihafalkan murid-murid sekolah setiap Senin pagi.
Pancasila adalah cara hidup, filosofi bangsa
yang seharusnya mengalir di pembuluh darah
setiap keputusan yang kita buat.
Tapi hari ini, di hari kelahirannya,
aku bertanya: dimana Pancasila sebenarnya tinggal?
Apakah di Monas yang tinggi menjulang,
di gedung-gedung pemerintahan yang megah,
atau di hati rakyat yang masih percaya
bahwa Indonesia bisa lebih baik dari ini?
Ada yang bilang Pancasila sudah usang,
tidak relevan dengan zaman yang serba digital ini.
Tapi mereka lupa bahwa kebutuhan manusia
untuk diperlakukan secara adil dan manusiawi
tidak pernah usang, tidak pernah kedaluwarsa.
Bung Karno pernah berkata bahwa Pancasila
digali dari bumi Indonesia sendiri,
dari nilai-nilai yang sudah hidup berabad-abad
di nusantara ini, jauh sebelum kita
belajar tentang demokrasi dari bangsa lain.
Gotong royong bukan import dari luar negeri.
Tenggang rasa bukan hasil terjemahan dari buku asing.
Bhinneka Tunggal Ika sudah dipraktikkan nenek moyang
jauh sebelum ada yang namanya sosiologi
atau antropologi budaya.
Mungkin yang kita butuhkan bukan merayakan
Pancasila dengan upacara dan pidato-pidato,
tapi dengan cara hidup yang mencerminkan
lima sila itu dalam tindakan nyata
setiap hari, setiap saat.
Mulai dari hal sederhana:
tidak mem-bully orang yang berbeda agama,
tidak meremehkan orang yang berbeda suku,
tidak mengambil hak orang lain,
dan tidak tutup mata pada penderitaan sesama.
Hari ini, di hari kelahiran Pancasila,
aku berdoa agar lima sila itu tidak selamanya
menjadi tamu di negeri sendiri,
tapi benar-benar pulang dan tinggal
di rumah yang bernama Indonesia.
Karena Pancasila bukan hanya milik masa lalu
yang perlu dikenang dengan nostalgia.
Pancasila adalah masa depan yang masih menunggu
untuk diwujudkan oleh tangan-tangan
yang masih percaya pada keajaiban kebersamaan.
Dan suatu hari nanti, ketika cucu-cucu kita
belajar tentang sejarah bangsa ini,
mereka tidak akan bertanya: "Dimana Pancasila?"
tapi akan berkata: "Inilah Indonesia yang dipimpin
oleh lima sila yang sudah menemukan rumahnya."
Depok, 1 Juni 2025
Fadly Fahry S. Wally (@sastragrafi19)
Komentar
Posting Komentar