Catatan Pinggir: Kegelisahan
Senja itu datang seperti sebuah tanda tanya. Awan-awan berarak pelan, menyisakan jejak oranye dan merah muda yang segera lenyap. Ada hal-hal yang tak bisa kita tangkap sepenuhnya, bahkan ketika kita menatapnya dengan segenap perhatian. Mungkin begitu pula kegelisahan di usia muda—ia datang dan pergi seperti musim, tapi semacam musim yang tak pernah sepenuhnya berlalu.
Aku teringat seorang teman yang suatu kali berkata, "Kita selalu merasa terlambat, ketika sesungguhnya kita hanya di tengah-tengah waktu." Di usia dua puluhan, kita berdiri di sebuah perbatasan antara ingatan dan harapan. Kita menoleh ke belakang dan menyaksikan masa kecil yang tak lagi bisa diulang; kita memandang ke depan dan menemui kabut yang tak bisa ditembus. Sementara kini, kita hanya bisa bertanya: siapakah aku?
Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan baru. Ia telah ditanyakan berulang kali, dalam berbagai bahasa, oleh jiwa-jiwa muda di sepanjang sejarah. Socrates menyebutnya sebagai permulaan kebijaksanaan. Tapi di tengah dunia yang bergerak semakin cepat, pertanyaan ini seolah menuntut jawaban yang juga segera. Padahal, mungkin nilai dari kegelisahan justru terletak pada ketidaktahuannya, pada kemampuannya untuk terus bertanya tanpa terburu-buru menemukan kepastian.
Aku membayangkan kegelisahan sebagai sebuah ruang—ruang yang memungkinkan kemungkinan-kemungkinan untuk tumbuh, untuk saling bersinggungan, untuk menemukan bentuknya sendiri. Ia adalah ruang di mana kita mulai mengenal batas-batas diri, tapi juga kekuatan untuk melampaui batas-batas itu.
Dalam sebuah catatan di tahun 1960-an, Nietzsche menulis: "Menjadi dewasa adalah menemukan kembali keseriusan yang kita miliki ketika kita bermain di waktu kecil." Mungkin kegelisahan di usia muda adalah jeda di antara dua momen keseriusan itu—sebuah waktu peralihan yang sekaligus perlu dan berharga.
Alam, dengan kebijakannya yang tak terduga, memberikan kepada pohon-pohon musim gugur sebelum datangnya musim semi. Ada waktu untuk melepaskan, sebelum waktu untuk tumbuh kembali. Dan mungkin begitu pula dengan jiwa-jiwa muda: mereka perlu mengalami kegelisahan sebagai bagian dari proses untuk menemukan kembali dirinya yang lebih utuh.
Perkara waktu, perkara menjadi, perkara mencari—semua itu hanyalah bagian dari misteri yang lebih besar yang disebut hidup. Dan dalam kegelisahan, kita justru menemukan keintiman dengan misteri itu. Kegelisahan adalah pengakuan bahwa kita masih bernapas, masih mencari, masih merasa, dan karena itu, masih begitu hidup.
Ambon, 22 April 2025
Komentar
Posting Komentar