Kanon Sastra di Era Post-Truth: Meneguhkan Nilai di Tengah Kekacauan Informasi

Di era post-truth, di mana fakta objektif seringkali kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi, peran kanon sastra menjadi semakin krusial. Kanon sastra, yang secara tradisional dipahami sebagai kumpulan karya literatur yang dianggap paling penting dan berpengaruh, kini menghadapi tantangan baru dalam mempertahankan relevansinya dan meneguhkan nilai-nilai di tengah kekacauan informasi.


Kanon sastra merujuk pada kumpulan karya sastra yang dianggap memiliki nilai intrinsik dan ekstrinsik yang tinggi dalam suatu tradisi budaya atau akademik (Bloom, 1994). Menurut Altieri (1983), kanon sastra berfungsi sebagai "model keunggulan dan otoritas" yang membentuk standar penilaian dan interpretasi karya sastra. Namun, dalam konteks post-truth, di mana kebenaran menjadi subjektif dan relatif, fungsi kanon ini dipertanyakan. Bagaimana kanon sastra dapat mempertahankan otoritasnya di tengah proliferasi informasi dan relativisme nilai?

Salah satu jawaban terletak pada kemampuan kanon untuk beradaptasi dan merefleksikan perubahan sosial. Guillory (1993) berpendapat bahwa kanon bukanlah entitas statis, melainkan konstruksi sosial yang terus berubah. Era post-truth, yang pertama kali dipopulerkan oleh Ralph Keyes (2004) dan kemudian dinobatkan sebagai kata tahun 2016 oleh Oxford Dictionaries, menghadirkan beberapa tantangan spesifik terhadap eksistensi dan relevansi kanon sastra. Lewandowsky et al., (2017) mengungkapkan terciptanya relativisme nilai di mana terdapat kecenderungan untuk menganggap semua pendapat setara, terlepas dari kualitas atau kebenaran faktualnya. 

Sunstein (2017) menyoroti adanya fragmentasi audiens yang mengakibatkan terpecahnya khalayak ke dalam "ruang gema" yang memperkuat bias konfirmasi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya overload informasi yang menyulitkan pembaca untuk membedakan karya berkualitas dari yang tidak relevan. 

Dalam era post-truth, kanon sastra perlu memperluas cakupannya untuk memasukkan suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan, sambil tetap mempertahankan standar kualitas literernya.

Lebih lanjut, kanon sastra dapat berperan sebagai jangkar di tengah lautan informasi yang chaotis. Bloom (1994) menegaskan bahwa membaca karya-karya kanonik dapat membantu pembaca mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman mendalam tentang kondisi manusia. Kemampuan ini sangat penting dalam era post-truth, di mana individu dituntut untuk dapat memilah informasi dan memahami kompleksitas narasi yang beredar.

Namun, tantangan terbesar bagi kanon sastra di era ini adalah mempertahankan relevansinya di tengah budaya digital dan konsumsi informasi yang cepat. Hayles (2012) menunjukkan bahwa pola membaca di era digital cenderung lebih dangkal dan terfragmentasi. Kanon sastra, dengan kompleksitas dan kedalaman maknanya, mungkin terasa kurang menarik bagi pembaca kontemporer yang terbiasa dengan konten singkat dan cepat.

Untuk mengatasi hal ini, pendekatan baru dalam pengajaran dan penyajian kanon sastra diperlukan. Integrasi teknologi digital dalam pengajaran sastra, seperti yang diusulkan oleh Borsheim-Black et al. (2014), dapat membantu menjembatani kesenjangan antara kanon klasik dan pembaca modern. Penggunaan media sosial, podcast, atau platform digital lainnya untuk mendiskusikan dan menginterpretasikan karya-karya kanonik dapat membuat sastra klasik lebih aksesibel dan relevan bagi generasi muda.

Selain itu, kanon sastra juga perlu lebih inklusif dan representatif. Tuchman dan Fortin (1984) telah lama mengkritik dominasi perspektif maskulin dan Barat dalam kanon tradisional. Di era post-truth, di mana keragaman suara dan pengalaman semakin diakui, kanon sastra perlu memperluas cakupannya untuk mencakup karya-karya dari berbagai latar belakang budaya, gender, dan sosial.

Meskipun menghadapi tantangan besar di era post-truth, kanon sastra tetap memiliki peran penting dalam meneguhkan nilai-nilai dan mempromosikan pemikiran manusia. Di tengah kekacauan informasi era post-truth, kanon sastra tetap memiliki peran vital sebagai jangkar nilai dan kualitas dalam dunia literasi. Melalui strategi reinterpretasi, integrasi teknologi, penguatan literasi kritis, diversifikasi, dan kolaborasi interdisipliner, kanon sastra dapat mempertahankan relevansinya dan bahkan memperluas pengaruhnya. Tantangan era post-truth, alih-alih mengancam eksistensi kanon, justru dapat menjadi katalis bagi evolusi dan pembaharuan yang konstruktif dalam dunia sastra.

*sastragrafi19


Komentar

Postingan Populer