Sastrawan, Media, dan Pascarealitas: Ruang Sempit Sebuah Eksistensi

 

@sastragrafi19

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer)

...

Pram agaknya tidak pernah bercanda dengan kata-katanya. Menulis mungkin kelihatan mudah, perihal apa yang ditulis, itu yang rumit. Tidak ada ide yang sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah, sebab dari satu individu ke individu lain, satu masyarakat ke masyarakat lain, satu peradaban ke peradaban lain, kita senantiasa mengembangkan ide-ide ideal untuk realitas-realitas ideal. Realitas pertama-tama terlihat sebagaimana adanya, kedua realitas yang merupakan pengaplikasian dari ide. Sementara realitas-realitas hampa hadir dari keberadaan yang tidak dibarengi ide-ide ideal. Jadi sebenarnya, pengetahuan-pengetahuan baru lahir bukan untuk membunuh pengetahuan-pengetahuan lama, sebab kesemua itu merupakan suatu rangkaian kompleks yang saling berkesinambungan dari momentum kehidupan manusia di muka bumi yang begitu panjang. 

Kehidupan itu macam luatan luas. Beberapa orang terombang-ambing bukan karena tidak punya kapal untuk mengarunginya, tapi karena tidak punya tujuan. Beberapa lagi menjadi penumpang dari kapal orang lain. Sebenarnya kita semua pernah bertanya tentang tujuan hidup kita, namun tidak semua berhasil menjawabnya, ada yang terombang-ambing tanpa arah, ada yang lupa arah pulang. Rencana kita hanya terjadi seujung kuku, sisanya, hidup adalah misteri. Manusia dalam hidup mereka, dari peradaban ke peradaban mencoba menjawab misteri tersebut, meski sampai kini jawaban itu masih berupa mozaik tak beraturan. Ketika sebuah jawaban ditemukan, kadang orang lupa akan jawaban dari pertanyaan lainnya. Lalu timbul pertanyaan-pertanyaan baru yang menyingkirkan pertanyaan lama yang belum terjawab. Jadi, waku selalu menang tanpa bisa dilawan sedikit pun. Bahkan para penulis atau pelukis, mereka hanya menelurkan karyanya, waktu mengeraminya. 

Tidak ada yang bisa memastikan bahkan untuk sesuatu yang telah pasti di dalam akal, sebab kehendak Tuhan adalah kepastian itu sendiri. Kalau kita berhenti pada sebuah proses, artinya ada segelintir fase tumbuh yang tidak terjadi. Dalam sebuah analogi misalnya, antara hubungan matahari sebagai pusat tata surya serta planet-planet yang mengelilinginya, kesemua benda-benda langit memiliki porosnya masing-masing di mana mereka bergerak setiap saat. Planet terdekat matahari berputar lebih cepat daripada planet-planet terjauh yang disebabkan gerakan lurus ketika tata surya terbentuk dan gerakan ke arah matahari akibat gaya berat. Pergerakan planet-planet tersebut yang mengakibatkan kehidupan di dunia ini akan terus ada. Bayangkan jika bumi ini berhenti berputar atau jika seseorang stagnan pada sesuatu hal: ia berhenti tumbuh.

Sekali ada, akan tetap ada. Ada titik di mana peristiwa tak beranjak dan kesan tegar berpijak. Pada sisi nyaman kenangan yang manis, yang kita sebut sejarah.  Sastrawan sebagai bagian integral dari kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki sumbangsih besar terhadap penanaman karakter serta pelestari budaya. Melalui karya-karya sastra yang terus berkembang seiring zamannya, sastrawan turut menjaga hubungan sosial di tengah realitas kompleks yang saling memengaruhi satu sama lain. Perihal menjadi sastrawan tidak begitu populis di semua kalangan, sebab dibutuhkan keahlian dan keterampilan khusus yang berupa bakat ataupun latihan-latihan berkelanjutan. Pada dasarnya kita semua bisa, yang  jadi persoalan bagaimana caranya kita mau. Sebab kebisaan tanpa kemauan ibarat tanah yang subur tapi tak menumbuhkan apa-apa. Terlena dengan kondisi yang baik-baik saja tanpa usaha lalu pencapaian menjauh. 

Pada dasarnya hidup itu perlu perjuangan, yang jadi persoalan antara menciptakan kemudahan dan bergantung pada hal instan kadang sukar diuraikan. Kesemrawutan antara ide dan realitas terjadi karena kita bebas berpikir namun terkungkung dalam tindak, karena kita bebas bermimpi namun enggan mematenkan jejak. Jadilah kita ke mana, tak jadi apa-apa. Sementara itu, karya sastra membutuhkan media sebagai tempat berpijak yang kompeten. Media ialah sarana yang menunjang sebuah karya sastra agar dinikmati publik. Yang dimaksud media dalam hal ini ada dua hal, yang pertama media yang digunakan sastrawan dalam berkarya, dan kedua media yang merupakan sarana penghubung antara sastrawan, karya sastra dan khayalak umum. Media sastra berupa tulisan baik cetak maupun non cetak (belakangan muncul media berbasis digital), media penghubung yaitu berupa buku-buku antologi, media massa (koran dan majalah), kemudian media daring seperti Facebook, Instagram, Twitter, bahkan Youtube turut ramai dengan berbagai jenis karya sastra. Apapun medianya, karya sastra tetaplah karya sastra yang tidak kehilangan sentuhan estetiknya.

Perihal media bagi sastra cetak, penulis merasa ketersediaannya masih begitu memprihatinkan. Tidak semua karya sastra terserap di dalamnya, terlebih sastra cetak terjebak dalam alur industri yang menggiurkan. Tidak banyak nama mampu bersaing di sana, belum lagi kesempatan dan ruang sempit bagi tulisan-tulisan sastra di Indonesia, menjadikan sastra cetak sebagai media sastrawan melanjutkan eksistensinya tak menjangkau karya sastra hingga ke akar rumput.

Selebihnya, karya sastrawan generasi muda lebih banyak mengisi dinding-dinding media sosial. Pram memang benar, menulis adalah bekerja untuk keabadian, persoalannya, Pram tentu tidak membayangkan di masanya bahwa kemajuan teknologi menjadikan buku bukan lagi satu-satunya media bagi keabadian tersebut. Alhasil, sastrawan harus bersaing di ruang yang relatif sempit untuk memperebutkan tempatnya. Padahal, sastra harus diberi keleluasaan untuk tumbuh, tidak mesti tunduk pada kekangan apapun.

Kehadiran media sosial berbasis daring sedikit banyak mengaburkan minimnya ruang bagi sastra cetak. Bagaimanapun sebuah tulisan harus dibukukan. Tak ada media sebaik buku untuk mencapai eksistensi tertinggi karya sastra. Keabadian karya sastra karena ia hidup melawan arus, dan untuk melawan arus ia butuh media paten yang mampu bertahan meski pengarangnya telah tiada. Sastrawan tidak menciptakan media tersebut sendirian. Sehingga pada akhirnya, realitas sastrawan tersebut tidak berubah sedikit pun karena hadir dalam media yang tak lekang oleh zaman. 

Beberapa orang begitu takut tidak berhasil, daripada ikut berproses. Beberapa lainnya berkeluh kesah tidak mendapatkan sesuatu daripada berusaha menjadi. Beberapa yang lain mengkhawatirkan tidak bahagia daripada mulai menciptakannya. Sebenarnya segala hal dalam hidup itu punya porsi di mana kita bertindak sebagai pelaku dan bukan penunggu, sebagai pengatur dan bukan menyerahkan kepada takdir, sebagai pembuat dan bukan peminta-minta. 

Jika seseorang memahami belajar sebagai sebuah proses, maka hanya Tuhan yang berhak membuatnya berhenti. Jangan mencoba menjadi Tuhan-tuhan kecil yang mengadili dan membatasi segala potensi yang terus tumbuh tanpa tapi. Menjadi sastrawan dengan keterbatasan media tentu menguji eksistensinya sendiri. Namun sastra tidak pernah bergantung kepada angka, karena tingkat kenikmatan bukan sesuatu yang patut diukur. Maka jadilah sastrawan selayaknya sastrawan, dan penikmat tanpa menghitung nikmat.


*Tulisan ini telah lolos kurasi oleh tim kurator Musyarawah Nasional Sastrawan Indonesia III (MUNSI III) di Jakarta pada tahun 2020. Penulis merupakan perwakilan penyair dari Provinsi Maluku.



Tentang penulis:

Fadly Fahry S. Wally, lahir di Ambon pada November 1994. Menulis karya sastra sejak kelas 2 SMP. Pernah menjabat sebagai Wakil Ketua di Bengkel Seni Embun, Ambon. Saat ini sedang mengambil magister Ilmu Politik di Universitas Indonesia. 

Telah merilis beberapa buku antara lain: Peristiwa Januari (2015), Cerita Merdeka Orang-Orang Terjajah (2017), Menulis Ingatan (2021), Stanzalogia (2021), Aksara Kelindan (2021), dan Konserto Imaji (2021).


    

Komentar

Postingan Populer