Kredo Penyair
Ada dua realitas di sekeliling kita:
realitas yang diindrai dan realitas dari ide. Realitas indra seperti yang tampak
apa adanya, realitas ide ialah apa yang seharusnya terjadi.
Ada orang yang
lupa menjadi diri sendiri. Hidup dalam cita-cita dan ekspektasi orang
kebanyakan atau kelompok. Sederhananya, tidak merdeka atas diri sendiri.
Sialnya, itu terkonstruksi sejak kita lahir hingga punya mimpi dan mampu
menggunakan akal sendiri.
Beberapa dari kita
menggeluti sesuatu yang ‘bukan kita’ hanya karena tuntutan pekerjaan, persoalan
formalitas hidup agar tidak dicap pemalas atau pengangguran. Padahal esensi
bekerja ialah melakukan sesuatu yang kita kuasai. Tapi demi isi kantong,
bekerja hanyalah aktivitas yang dihadapi meski tidak dinikmati. Oleh sebab itu
seringkali ada orang yang mengeluh bukan sekadar lelah, tapi ia menguras
pikiran dan tenaga untuk mengerjakan sesuatu yang bukan dia, ia bukan butuh
liburan tapi butuh menjadi diri sendiri. Sebab selama ini ia menipu, menipu kata hati, menjalani hidup dengan
memendam bakat dan potensinya sendiri.
Seni adalah sebuah
pemberontakan terhadap realitas. Realitas yang mana? Realitas yang terjadi
tidak sesuai dengan ide-ide. Ide yang mana? Ide yang aku sebut Pikiran dan
Intuisi. Sebab apa? Realitas terkadang keluar dari harapan-harapan yang
dicita-citakan. Karena apa? Karena tidak semua orang memiliki ide. Mengapa
seni? Seni adalah kemerdekaan untuk menyuarakan pikiran dan intuisi.
Dunia ini luas,
sedang diri kita berbatas. Lakukan saja apa yang kita bisa: menggenggam apa
yang kedua tangan kita bisa genggam, berjalan ke tempat yang kedua kaki kita
bisa melangkah, memikirkan apa yang akal kita bisa jangkau. Tak perlu
memaksakan kehendak apalagi mengkhianati jati diri.
Rasa penasaran akan sesuatu menuntun seseorang untuk menemukan hal-hal baru. Aku mengikuti rasa penasaranku akan puisi, dan semesta menuntunku mencipta dan terus mencipta, membaca dan terus menulis. Aku belum pernah berhenti, sebab tanda titik bukan bermakna ‘selesai’.
Aku tidak dapat
membayangkan bagaimana seseorang menjalani hidup tanpa rasa penasaran.
Maksudku, bagaimana ia mencapai tujuan tertentu tanpa ia bertanya-tanya tentang
tujuan itu. Jalan mana yang harus dipilih. Cara apa yang harus ditempuh.
Setidaknya, rasa ingintahulah yang membimbing seseorang dekat dengan impiannya.
Hidup bukan candaan,
yang dengan tertawa saja berarti bahagia. Juga bukan kekakuan yang hanya dengan
keseriusan saja untuk menuju sukses. Atau mengikuti definisi orang banyak
tentang hidup supaya dianggap manusiawi. Kita punya hak dan kesempatan menata
kehidupan versi kita, tanpa mengabaikan Tuhan, Sang Sutradara dari semua naskah
yang kita mainkan.
Aku telah menulis
ribuan judul puisi sejak aku mulai membangun tempatku di dunia sastra. Puisi
adalah bunga kehidupan yang dapat kutanam, kurawat, kusemai, kunikmati tiap selanya.
Banyak hal telah kutumpahkan dalam berbagai frasa, genre, bait, diksi. Dari
yang terungkapkan hingga yang masih menjadi bungkusan rahasia.
Cinta adalah
sesuatu yang diperjuangkan bukan didiamkan. Aku mencintai puisi, maka aku
menulis. Merangkai antologi, memprasastikannya di buku peradaban. Cinta yang
didiamkan adalah cinta yang lemah, yang memilih bersembunyi, yang penuh
ketakutan. Mencintai perlu keberanian, jika ragu maka mundur saja. Tumbuhkan
cinta di tempat di mana ia berani tumbuh dengan leluasa. Tanpa kekangan, tanpa
kepura-puraan.
Berpuisi berarti
cara untuk hidup. Aku tak dapat menghitung berapa kali puisi menyelamatkanku
dari macam-macam perasaan dan pikiran yang rumit. Puisi juga membantuku
menyampaikan apa yang lisanku bungkam luar biasa karenanya, namun mengalir
begitu saja dalam paduan kata dan bahasa. Katanya, jika kau tak tahu cara
mengungkapkan sesuatu, mulailah menulis. Kejujuran termaktub dalam puisi, apa
adanya. Meski untuk memahaminya, seseorang harus menyelaminya atau menggalinya.
Sebab puisi itu tidak dangkal, ia dalam, ia menyentuh tiap jiwa.
Penyair itu pada
hakikatnya individualis. Mandiri dalam ide dan karya. Tidak ada yang ingin
menyama-nyamai atau menjiplak karya orang lain, maka itu penyair berdiri
sendiri. Karya mereka unik dan berbeda, sebab itulah disebut berkhazanah.
Persoalan menjadi yang terbaik, itu bukan perkara. Setiap penyair senantiasa
menyajikan yang terbaik dari diri mereka, mereka berkarya memang untuk
menghadirkan kebaikan. Setiap penyair punya pembaca dan penikmatnya,
kuantitasnya saja yang berbeda, tapi itu bukan ukuran vitalitasnya. Atau apakah
perlu ada kelas-kelas penyair? Bukankah itu merupakan penghinaan atas daya
cipta dan intuisi?
Ada pergulatan
luar biasa ketika puisi dilahirkan dari jemari sang penyair. Ia tidak
berimajinasi semata, tapi ada pergulatan pikir
akan esensi, pesan dan diksi terselip di balik bait-bait yang terkadang kau
baca sepintas saja. Puisi diciptakan dengan menggali tanah kata-kata untuk
kemudian tumbuh menuju jiwa angkasa. Ada pergulatan yang senantiasa
diolah-ramukan sehingga puisi menempa kepala dan menembus dada.
Sepuluh tahun lalu
aku mencuri senggang untuk menulis. Tanpa buku-buku apik untuk dijadikan
referensi. Semua dari dan karena sepi. Aku suka sendiri, menyendiri. Hiruk
pikuk dunia dan realitasnya mencarutmarutkan imaji, pikirku kala itu. Kawan,
kau tahu, proses telah menempaku dengan keras dan awas, sebab untuk sampai ke
sebuah titik aku harus melalui babak-babak rumit yang tak sedikit. Kau tahu
kawan, tidak ada pencapaian yang tanpa proses dan dilalui lewat kondisi yang
baik-baik saja. Maka lakukan saja tanpa keluh dan banyak tanya.
Semua kata bisa
menjadi puisi. Setiap orang bisa menjadi penyair. Tapi puisi memilih tuannya
sendiri. Untuk direnungkan dan dilahirkan. Jatah usia kita adalah kesementaraan yang namun jika kita
bisa mengelabui waktu secara kreatif, dengan daya cipta dan karya, maka esensi
hidup kita tidak akan usai meski realitas kita berakhir. Eksistensi kita
diganti oleh sesuatu yang terdapat ‘jiwa’ kita di dalamnya. Oleh sebab itu,
meski proses biologis kita terhenti akan tetapi sejarah membuat kita abadi.
Ambon, Juli 2021
Fadly Fahry S. Wally
Komentar
Posting Komentar