Diksi dan Konjungsi: Karya Sastra Tidak Melulu Soal Esensi!
Sebuah Esai
Tirani Makna: Ketika Puisi
Menjadi Teka-teki yang Harus Dipecahkan
Ada sebuah
kekeliruan mendasar dalam cara kita diajarkan membaca sastra sejak bangku
sekolah. Setiap kali guru membagikan fotokopian puisi Chairil Anwar atau
Sapardi Djoko Damono, pertanyaan yang sama selalu muncul: "Apa makna puisi
ini? Apa pesan yang ingin disampaikan penyair?" Seolah-olah puisi adalah
semacam kode rahasia yang harus dipecahkan, semacam teka-teki silang yang hanya
punya satu jawaban benar. Seolah-olah di balik setiap metafora tersembunyi
sebuah kebenaran tunggal yang menunggu untuk ditemukan.
Pendekatan ini
telah menciptakan generasi pembaca yang takut pada sastra. Mereka mendekati
puisi dengan kecemasan, bukan dengan kenikmatan. "Aku tidak mengerti
puisi," kata mereka, seolah tidak mengerti adalah sebuah kegagalan
personal, seolah ada yang salah dengan mereka dan bukan dengan cara mereka
diajarkan membaca. Akibatnya, puisi—yang seharusnya menjadi bentuk seni paling
demokratis, paling intim, paling personal—malah menjadi sesuatu yang eksklusif
dan menakutkan.
Obsesi terhadap
esensi ini tidak hanya mengintimidasi pembaca, tetapi juga menyempitkan
pengalaman membaca itu sendiri. Ketika kita terlalu fokus pada "apa
artinya," kita melewatkan "bagaimana rasanya." Kita melewatkan
musik dalam kata-kata, irama dalam kalimat, resonansi dalam bunyi. Kita membaca
dengan mata dan pikiran, tetapi lupa membaca dengan telinga dan hati. Kita
mengubah puisi menjadi soal matematika yang harus diselesaikan, bukan
pengalaman estetik yang harus dijalani.
Padahal,
kekuatan sastra yang sesungguhnya bukan hanya terletak pada apa yang
dikatakannya, tetapi pada bagaimana ia mengatakannya. Sebuah puisi tentang
kesedihan tidak kuat hanya karena ia berbicara tentang kesedihan—dunia ini
penuh dengan tulisan tentang kesedihan. Sebuah puisi menjadi kuat karena ia
membuat kita merasakan kesedihan itu melalui pemilihan kata yang tepat, melalui
ritme yang memperlambat waktu, melalui jeda yang menciptakan ruang bagi napas
yang tertahan. Esensi tanpa keindahan bentuk adalah esai filosofi, bukan puisi.
Kita telah
terlalu lama mengajarkan sastra sebagai ajang pencarian makna, padahal sastra
seharusnya adalah ajang penciptaan pengalaman. Makna bisa ambigu, bisa
multitafsir, bisa berbeda bagi setiap pembaca—dan itu tidak masalah. Bahkan,
ambiguitas itulah yang membuat sebuah karya sastra tetap hidup, terus dibaca,
terus diinterpretasikan ulang oleh generasi demi generasi. Tetapi pengalaman
estetik—sensasi ketika kata-kata tertentu bertemu dalam urutan tertentu, ketika
bunyi tertentu bergema dengan bunyi lainnya—itulah yang membuat sastra menjadi
sastra, bukan sekadar tulisan berisi ide.
Arsitektur Kata: Konjungsi
sebagai Jembatan, Diksi sebagai Fondasi
Bayangkan
sebuah kalimat sebagai jembatan. Esensi adalah tempat tujuan di seberang sana,
tetapi konjungsi adalah struktur jembatan itu sendiri—lengkungan, tiang
penyangga, kabel-kabel baja yang menahan beban. Salah memasang satu elemen
saja, dan seluruh jembatan bisa runtuh. Atau lebih buruk lagi: jembatan tetap
berdiri, tetapi mengantar kita ke tempat yang salah.
Perhatikan
perbedaan antara "Aku mencintaimu, tetapi aku harus pergi" dan
"Aku mencintaimu, maka aku harus pergi." Satu kata penghubung
mengubah segalanya. Yang pertama menyiratkan konflik, kontradiksi antara cinta
dan kepergian. Yang kedua menyiratkan kausalitas—bahwa cinta itu sendiri yang
menuntut kepergian. Esensi berubah total hanya karena perubahan konjungsi.
Inilah kekuatan yang sering diabaikan: bahwa makna tidak hanya terletak pada
kata benda dan kata kerja, tetapi juga—dan mungkin terutama—pada kata-kata
kecil yang menghubungkan mereka.
Konjungsi
adalah konduktor orkestra bahasa. Ia menentukan kapan instrumen masuk, kapan
tempo berubah, kapan nada naik atau turun. "Dan" memberikan
akumulasi, "tetapi" memberikan kontras, "lalu" memberikan konsekuensi, "meski" memberikan ketegangan. Seorang penulis yang mahir
menggunakan konjungsi adalah seorang yang memahami bahwa kalimat bukan hanya
rantai kata-kata, melainkan aliran energi yang perlu diarahkan, dipercepat,
diperlambat, atau dibelokkan pada waktu yang tepat.
Sementara itu,
diksi adalah soal presisi dan resonansi sekaligus. Memilih kata bukan hanya
soal menemukan sinonim yang artinya tepat, tetapi juga soal menemukan kata yang
bunyinya tepat, yang bobotnya tepat, yang konotasinya tepat. "Rumah"
dan "kediaman" secara denotatif mungkin mirip, tetapi secara
konotatif dan sonik sangat berbeda. "Rumah" terasa hangat, personal,
membumi. "Kediaman" terasa formal, resmi, menjaga jarak. Seorang
penulis sastra memilih bukan kata yang paling akurat menurut kamus, tetapi kata
yang paling hidup dalam konteks kalimat.
Diksi yang baik
juga menciptakan musik. Perhatikan bagaimana penyair memilih kata-kata yang
bunyinya saling merespon—aliterasi yang menciptakan irama, asonansi yang
menciptakan gema, konsonan yang menciptakan tekstur. "Hujan di bulan
Juni" berbunyi berbeda dengan "Hujan di bulan Maret," bukan
hanya karena artinya berbeda, tetapi karena bunyinya berbeda. "Juni"
dengan bunyi vokal tinggi yang terbuka menciptakan rasa lapang;
"Maret" dengan konsonan "r" yang bergetar menciptakan rasa
kasar. Ini bukan kebetulan. Ini adalah keahlian.
Yang membuat
konjungsi dan diksi begitu krusial adalah bahwa keduanya bekerja pada level
yang sering tidak disadari pembaca. Ketika kita membaca kalimat yang indah,
kita mungkin tidak bisa menjelaskan mengapa ia indah, tetapi kita merasakannya.
Keindahan itu datang dari pemilihan kata yang tepat dan penempatan konjungsi
yang presisi. Ini adalah keahlian teknis yang tersembunyi di balik kesan
spontanitas. Seperti penari yang gerakannya tampak alami dan mudah, padahal di
baliknya ada latihan ribuan jam untuk menguasai teknik.
Ketika kita
terlalu fokus pada esensi, kita melewatkan keahlian ini. Kita hanya melihat apa
yang dikatakan, bukan bagaimana ia dikatakan. Padahal, dalam sastra,
"bagaimana" sering lebih penting daripada "apa." Karena
"apa" bisa dikomunikasikan dengan banyak cara—melalui esai, artikel,
pidato. Tetapi hanya sastra yang mengkomunikasikan "apa" itu dengan
cara yang membuat kita merasakan sesuatu yang tidak bisa dirasakan melalui
medium lain. Dan cara itu terletak pada level kata per kata, sambungan per
sambungan.
Puisi sebagai Pengalaman:
Merasakan Sebelum Memahami
Ada sebuah
kearifan dalam ungkapan "puisi adalah soal rasa, bukan pikiran." Ini
bukan berarti puisi tidak mengandung pemikiran—tentu saja ia mengandung
pemikiran, bahkan pemikiran yang sangat dalam. Tetapi pemikiran itu tidak
disampaikan melalui argumen logis atau penjelasan eksplisit. Ia disampaikan
melalui pengalaman estetik. Melalui sensasi membaca kata-kata tertentu dalam
urutan tertentu. Melalui resonansi bunyi yang menciptakan perasaan sebelum
menciptakan makna.
Ketika kita
membaca "seperti air yang mengalir dari pegunungan menuju tepi
pantai," kita tidak perlu segera bertanya: apa simbolismenya? Apa yang
diwakili oleh air? Apa yang diwakili oleh pegunungan? Kita bisa—dan
seharusnya—pertama-tama merasakan gerakannya. Aliran dari tinggi ke rendah,
dari dingin ke hangat, dari sempit ke luas. Kita bisa merasakan perjalanan itu
dalam tubuh kita sebelum kita memahaminya dengan pikiran. Ini adalah cara puisi
bekerja: ia mengajak tubuh dan perasaan kita bereaksi sebelum mengajak intelek
kita menganalisis.
Pendekatan ini
membebaskan kita dari tirani interpretasi tunggal. Jika puisi terutama adalah
pengalaman, maka tidak ada interpretasi yang "salah" selama
interpretasi itu lahir dari pengalaman membaca yang jujur. Dua orang bisa
membaca puisi yang sama dan merasakan hal yang berbeda—dan keduanya benar.
Karena puisi bukan pesan dalam botol yang hanya punya satu isi; puisi adalah
instrumen musik yang berbunyi berbeda tergantung siapa yang memainkannya dan
dalam konteks apa ia dimainkan.
Ini tidak
berarti esensi tidak penting. Esensi tetap penting—ia adalah jiwa karya sastra.
Tetapi esensi tidak bisa dipisahkan dari bentuknya. Esensi dalam sastra adalah
esensi yang terwujud, yang terkristal dalam pemilihan kata dan struktur kalimat
tertentu. Tidak ada esensi yang mengambang bebas di atas teks, menunggu untuk
"ditemukan" seperti harta karun. Esensi itu hidup dalam teks itu
sendiri, dalam setiap kata, setiap jeda, setiap bunyi.
Maka dari itu,
urutan yang benar dalam menikmati sastra adalah: pertama, rasakan. Biarkan
kata-kata masuk melalui telinga—entah dibaca keras atau digaungkan dalam
pikiran. Dengarkan musiknya. Rasakan ritmenya. Biarkan citra-citra muncul tanpa
terburu-buru memaknainya. Kedua, perhatikan bagaimana perasaan itu diciptakan.
Kata-kata apa yang dipilih? Mengapa kata itu dan bukan kata lain? Bagaimana
kata-kata itu disusun? Konjungsi apa yang digunakan? Ketiga, baru kemudian—jika
perlu—refleksikan maknanya. Apa yang sedang dibicarakan di balik semua
keindahan bentuk ini?
Urutan ini penting karena jika kita langsung melompat ke makna, kita akan melewatkan dua tahap pertama—dan dua tahap pertama itulah yang membuat sastra menjadi sastra. Filosofi bisa disampaikan dalam esai. Kritik sosial bisa disampaikan dalam artikel. Tetapi pengalaman estetik yang menciptakan perubahan dalam diri pembaca pada level yang lebih dalam daripada intelektual—hanya sastra yang bisa melakukan itu.
***
Pada akhirnya,
mengapresiasi sastra adalah mengapresiasi keahlian dalam menggunakan bahasa
bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai medium seni. Seperti
pelukis yang tidak hanya peduli pada "apa yang dilukis" tetapi juga
pada sapuan kuas, komposisi warna, dan tekstur kanvas, penulis sastra peduli
pada diksi, pada konjungsi, pada bunyi dan ritme. Dan sebagai pembaca, kita
diundang untuk tidak hanya menjadi detektif yang mencari makna tersembunyi,
tetapi menjadi penikmat yang membiarkan diri kita dipengaruhi oleh keindahan
bahasa itu sendiri.
Karena sastra,
pada hakikatnya, bukan tentang menemukan jawaban. Ia tentang mengalami
pertanyaan dengan cara yang begitu indah sehingga pertanyaan itu sendiri
menjadi jawaban. Diksi dan konjungsi adalah alat untuk menciptakan pengalaman
itu. Esensi adalah apa yang tertinggal setelah pengalaman itu berlalu—seperti
aroma yang masih tercium lama setelah bunga layu. Tetapi tanpa bunga yang
hidup, tanpa kelopak yang mekar, tanpa warna dan bentuk—tidak akan ada aroma
untuk dikenang.
Maka biarkanlah
puisi menjadi puisi. Biarkanlah ia dinikmati terlebih dahulu sebelum dipahami.
Biarkanlah telinga kita mendengar sebelum pikiran kita menganalisis. Karena
dalam ruang antara mendengar dan memahami itulah sastra hidup—dalam ruang di
mana kata-kata bukan lagi sekadar simbol makna, tetapi menjadi musik, menjadi
sensasi, menjadi pengalaman yang mengubah kita dengan cara yang tidak bisa
sepenuhnya dijelaskan.
Dan itulah
keajaiban sastra.



Komentar
Posting Komentar