Diksi dan Konjungsi: Karya Sastra Tidak Melulu Soal Esensi!

Sebuah Esai

Instragram @sastragrafi19

Tirani Makna: Ketika Puisi Menjadi Teka-teki yang Harus Dipecahkan

Ada sebuah kekeliruan mendasar dalam cara kita diajarkan membaca sastra sejak bangku sekolah. Setiap kali guru membagikan fotokopian puisi Chairil Anwar atau Sapardi Djoko Damono, pertanyaan yang sama selalu muncul: "Apa makna puisi ini? Apa pesan yang ingin disampaikan penyair?" Seolah-olah puisi adalah semacam kode rahasia yang harus dipecahkan, semacam teka-teki silang yang hanya punya satu jawaban benar. Seolah-olah di balik setiap metafora tersembunyi sebuah kebenaran tunggal yang menunggu untuk ditemukan.

Pendekatan ini telah menciptakan generasi pembaca yang takut pada sastra. Mereka mendekati puisi dengan kecemasan, bukan dengan kenikmatan. "Aku tidak mengerti puisi," kata mereka, seolah tidak mengerti adalah sebuah kegagalan personal, seolah ada yang salah dengan mereka dan bukan dengan cara mereka diajarkan membaca. Akibatnya, puisi—yang seharusnya menjadi bentuk seni paling demokratis, paling intim, paling personal—malah menjadi sesuatu yang eksklusif dan menakutkan.

Obsesi terhadap esensi ini tidak hanya mengintimidasi pembaca, tetapi juga menyempitkan pengalaman membaca itu sendiri. Ketika kita terlalu fokus pada "apa artinya," kita melewatkan "bagaimana rasanya." Kita melewatkan musik dalam kata-kata, irama dalam kalimat, resonansi dalam bunyi. Kita membaca dengan mata dan pikiran, tetapi lupa membaca dengan telinga dan hati. Kita mengubah puisi menjadi soal matematika yang harus diselesaikan, bukan pengalaman estetik yang harus dijalani.

Padahal, kekuatan sastra yang sesungguhnya bukan hanya terletak pada apa yang dikatakannya, tetapi pada bagaimana ia mengatakannya. Sebuah puisi tentang kesedihan tidak kuat hanya karena ia berbicara tentang kesedihan—dunia ini penuh dengan tulisan tentang kesedihan. Sebuah puisi menjadi kuat karena ia membuat kita merasakan kesedihan itu melalui pemilihan kata yang tepat, melalui ritme yang memperlambat waktu, melalui jeda yang menciptakan ruang bagi napas yang tertahan. Esensi tanpa keindahan bentuk adalah esai filosofi, bukan puisi.

Kita telah terlalu lama mengajarkan sastra sebagai ajang pencarian makna, padahal sastra seharusnya adalah ajang penciptaan pengalaman. Makna bisa ambigu, bisa multitafsir, bisa berbeda bagi setiap pembaca—dan itu tidak masalah. Bahkan, ambiguitas itulah yang membuat sebuah karya sastra tetap hidup, terus dibaca, terus diinterpretasikan ulang oleh generasi demi generasi. Tetapi pengalaman estetik—sensasi ketika kata-kata tertentu bertemu dalam urutan tertentu, ketika bunyi tertentu bergema dengan bunyi lainnya—itulah yang membuat sastra menjadi sastra, bukan sekadar tulisan berisi ide.

Arsitektur Kata: Konjungsi sebagai Jembatan, Diksi sebagai Fondasi

Bayangkan sebuah kalimat sebagai jembatan. Esensi adalah tempat tujuan di seberang sana, tetapi konjungsi adalah struktur jembatan itu sendiri—lengkungan, tiang penyangga, kabel-kabel baja yang menahan beban. Salah memasang satu elemen saja, dan seluruh jembatan bisa runtuh. Atau lebih buruk lagi: jembatan tetap berdiri, tetapi mengantar kita ke tempat yang salah.

Perhatikan perbedaan antara "Aku mencintaimu, tetapi aku harus pergi" dan "Aku mencintaimu, maka aku harus pergi." Satu kata penghubung mengubah segalanya. Yang pertama menyiratkan konflik, kontradiksi antara cinta dan kepergian. Yang kedua menyiratkan kausalitas—bahwa cinta itu sendiri yang menuntut kepergian. Esensi berubah total hanya karena perubahan konjungsi. Inilah kekuatan yang sering diabaikan: bahwa makna tidak hanya terletak pada kata benda dan kata kerja, tetapi juga—dan mungkin terutama—pada kata-kata kecil yang menghubungkan mereka.

Konjungsi adalah konduktor orkestra bahasa. Ia menentukan kapan instrumen masuk, kapan tempo berubah, kapan nada naik atau turun. "Dan" memberikan akumulasi, "tetapi" memberikan kontras, "lalu" memberikan konsekuensi, "meski" memberikan ketegangan. Seorang penulis yang mahir menggunakan konjungsi adalah seorang yang memahami bahwa kalimat bukan hanya rantai kata-kata, melainkan aliran energi yang perlu diarahkan, dipercepat, diperlambat, atau dibelokkan pada waktu yang tepat.

Sementara itu, diksi adalah soal presisi dan resonansi sekaligus. Memilih kata bukan hanya soal menemukan sinonim yang artinya tepat, tetapi juga soal menemukan kata yang bunyinya tepat, yang bobotnya tepat, yang konotasinya tepat. "Rumah" dan "kediaman" secara denotatif mungkin mirip, tetapi secara konotatif dan sonik sangat berbeda. "Rumah" terasa hangat, personal, membumi. "Kediaman" terasa formal, resmi, menjaga jarak. Seorang penulis sastra memilih bukan kata yang paling akurat menurut kamus, tetapi kata yang paling hidup dalam konteks kalimat.

Diksi yang baik juga menciptakan musik. Perhatikan bagaimana penyair memilih kata-kata yang bunyinya saling merespon—aliterasi yang menciptakan irama, asonansi yang menciptakan gema, konsonan yang menciptakan tekstur. "Hujan di bulan Juni" berbunyi berbeda dengan "Hujan di bulan Maret," bukan hanya karena artinya berbeda, tetapi karena bunyinya berbeda. "Juni" dengan bunyi vokal tinggi yang terbuka menciptakan rasa lapang; "Maret" dengan konsonan "r" yang bergetar menciptakan rasa kasar. Ini bukan kebetulan. Ini adalah keahlian.

Yang membuat konjungsi dan diksi begitu krusial adalah bahwa keduanya bekerja pada level yang sering tidak disadari pembaca. Ketika kita membaca kalimat yang indah, kita mungkin tidak bisa menjelaskan mengapa ia indah, tetapi kita merasakannya. Keindahan itu datang dari pemilihan kata yang tepat dan penempatan konjungsi yang presisi. Ini adalah keahlian teknis yang tersembunyi di balik kesan spontanitas. Seperti penari yang gerakannya tampak alami dan mudah, padahal di baliknya ada latihan ribuan jam untuk menguasai teknik.

Ketika kita terlalu fokus pada esensi, kita melewatkan keahlian ini. Kita hanya melihat apa yang dikatakan, bukan bagaimana ia dikatakan. Padahal, dalam sastra, "bagaimana" sering lebih penting daripada "apa." Karena "apa" bisa dikomunikasikan dengan banyak cara—melalui esai, artikel, pidato. Tetapi hanya sastra yang mengkomunikasikan "apa" itu dengan cara yang membuat kita merasakan sesuatu yang tidak bisa dirasakan melalui medium lain. Dan cara itu terletak pada level kata per kata, sambungan per sambungan.

Puisi sebagai Pengalaman: Merasakan Sebelum Memahami

Ada sebuah kearifan dalam ungkapan "puisi adalah soal rasa, bukan pikiran." Ini bukan berarti puisi tidak mengandung pemikiran—tentu saja ia mengandung pemikiran, bahkan pemikiran yang sangat dalam. Tetapi pemikiran itu tidak disampaikan melalui argumen logis atau penjelasan eksplisit. Ia disampaikan melalui pengalaman estetik. Melalui sensasi membaca kata-kata tertentu dalam urutan tertentu. Melalui resonansi bunyi yang menciptakan perasaan sebelum menciptakan makna.

Ketika kita membaca "seperti air yang mengalir dari pegunungan menuju tepi pantai," kita tidak perlu segera bertanya: apa simbolismenya? Apa yang diwakili oleh air? Apa yang diwakili oleh pegunungan? Kita bisa—dan seharusnya—pertama-tama merasakan gerakannya. Aliran dari tinggi ke rendah, dari dingin ke hangat, dari sempit ke luas. Kita bisa merasakan perjalanan itu dalam tubuh kita sebelum kita memahaminya dengan pikiran. Ini adalah cara puisi bekerja: ia mengajak tubuh dan perasaan kita bereaksi sebelum mengajak intelek kita menganalisis.

Pendekatan ini membebaskan kita dari tirani interpretasi tunggal. Jika puisi terutama adalah pengalaman, maka tidak ada interpretasi yang "salah" selama interpretasi itu lahir dari pengalaman membaca yang jujur. Dua orang bisa membaca puisi yang sama dan merasakan hal yang berbeda—dan keduanya benar. Karena puisi bukan pesan dalam botol yang hanya punya satu isi; puisi adalah instrumen musik yang berbunyi berbeda tergantung siapa yang memainkannya dan dalam konteks apa ia dimainkan.

Ini tidak berarti esensi tidak penting. Esensi tetap penting—ia adalah jiwa karya sastra. Tetapi esensi tidak bisa dipisahkan dari bentuknya. Esensi dalam sastra adalah esensi yang terwujud, yang terkristal dalam pemilihan kata dan struktur kalimat tertentu. Tidak ada esensi yang mengambang bebas di atas teks, menunggu untuk "ditemukan" seperti harta karun. Esensi itu hidup dalam teks itu sendiri, dalam setiap kata, setiap jeda, setiap bunyi.

Maka dari itu, urutan yang benar dalam menikmati sastra adalah: pertama, rasakan. Biarkan kata-kata masuk melalui telinga—entah dibaca keras atau digaungkan dalam pikiran. Dengarkan musiknya. Rasakan ritmenya. Biarkan citra-citra muncul tanpa terburu-buru memaknainya. Kedua, perhatikan bagaimana perasaan itu diciptakan. Kata-kata apa yang dipilih? Mengapa kata itu dan bukan kata lain? Bagaimana kata-kata itu disusun? Konjungsi apa yang digunakan? Ketiga, baru kemudian—jika perlu—refleksikan maknanya. Apa yang sedang dibicarakan di balik semua keindahan bentuk ini?

Urutan ini penting karena jika kita langsung melompat ke makna, kita akan melewatkan dua tahap pertama—dan dua tahap pertama itulah yang membuat sastra menjadi sastra. Filosofi bisa disampaikan dalam esai. Kritik sosial bisa disampaikan dalam artikel. Tetapi pengalaman estetik yang menciptakan perubahan dalam diri pembaca pada level yang lebih dalam daripada intelektual—hanya sastra yang bisa melakukan itu.

***

Pada akhirnya, mengapresiasi sastra adalah mengapresiasi keahlian dalam menggunakan bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai medium seni. Seperti pelukis yang tidak hanya peduli pada "apa yang dilukis" tetapi juga pada sapuan kuas, komposisi warna, dan tekstur kanvas, penulis sastra peduli pada diksi, pada konjungsi, pada bunyi dan ritme. Dan sebagai pembaca, kita diundang untuk tidak hanya menjadi detektif yang mencari makna tersembunyi, tetapi menjadi penikmat yang membiarkan diri kita dipengaruhi oleh keindahan bahasa itu sendiri.

Karena sastra, pada hakikatnya, bukan tentang menemukan jawaban. Ia tentang mengalami pertanyaan dengan cara yang begitu indah sehingga pertanyaan itu sendiri menjadi jawaban. Diksi dan konjungsi adalah alat untuk menciptakan pengalaman itu. Esensi adalah apa yang tertinggal setelah pengalaman itu berlalu—seperti aroma yang masih tercium lama setelah bunga layu. Tetapi tanpa bunga yang hidup, tanpa kelopak yang mekar, tanpa warna dan bentuk—tidak akan ada aroma untuk dikenang.

Maka biarkanlah puisi menjadi puisi. Biarkanlah ia dinikmati terlebih dahulu sebelum dipahami. Biarkanlah telinga kita mendengar sebelum pikiran kita menganalisis. Karena dalam ruang antara mendengar dan memahami itulah sastra hidup—dalam ruang di mana kata-kata bukan lagi sekadar simbol makna, tetapi menjadi musik, menjadi sensasi, menjadi pengalaman yang mengubah kita dengan cara yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan.

Dan itulah keajaiban sastra.


Fadly Fahry S. Wally
Makassar, Agustus 2019

Komentar