Labirin
Sebuah Esai
Kita harus saling menemukan sebelum matahari terbit! Tapi bagaimana bisa? Sedang kita tak saling mencari. Aduh, mengapa kita saling membutuhkan tapi enggan saling memperjuangkan. Kita harus saling menemukan. Titik! Kita sudah sama-sama terluka parah. Peluru menembus kaki kananku, reranting menggores-gores tanganmu. Kita mesti bekerjasama untuk keluar. Malam tambah pekat di sini, tambah mengikat. Obor yang aku bawa akan segera padam. Habislah aku. Kau dimana? Aku mencari kemana-mana tak kentara. Kau tak membawa secahayapun? Kau baik-baik saja? Aku khawatir padamu. Beri tanda padaku tentang keberadaanmu. Buat sayatan di batang pohon atau jejak kaki membekas.
Malam ini kita belajar arti kehilangan. Sebab kemarin dan kemarinnya lagi kita hanya bungkam mengakui segala rahasia. Aku masih belum mengerti tentangmu, kau tak mengucap sekatapun padaku. Kini senja tiba-tiba datang menyeretmu dan menyeretku. Membawa kita jauh ke dalam labirin hutan. Aku dengar terakhir kau berteriak memanggil namaku bukan yang lain. Ada apa? Aku masih belum mengerti. Mengapa namaku? Bukankah kau tak pernah memikirkan aku?
Aku nyaris terjebak di rawa. Ditelan habis lumpur hisap. Aku tak mau berdebat dengan kepalaku tentang teriakanmu tadi. Aku akan mencarimu. Labirin ini pasti punya ujung, punya pintu keluar. Kita sedang diuji. Percayalah! Menguji sabarku, menguji pekamu. Aku harap kau segera sadari itu dimanapun kau berada. Cari petunjuk. Apapun. Malam makin hening, dingin, suram. Gelap mulai meradang. Cahaya langit tertutupi garang awan-awan hitam. Sesekali raungan binatang buas memecah hening bisu pepohonan besar.
Bulan di atas kepala redup remang. Kelam menganga. Jalan kusut mengambang. Aku lari menembus semak menembus ilalang. Kakiku letih, memincang perih darah mengalir. Sebuah batu aku duduki memindahkan lelah bercampur gelisah merayapi hati. Keringat tumpah menikam noda-noda di baju. Pakaianku tampak kecut. Suara-suara gaib menyambar-nyambar telinga. Seolah mengajak pulang. Tapi jalan keluar belum juga kentara. Dan, ah, kau dimana? Tanda apa? Keadaanmu?
Berjalan aku tergopoh-gopoh. Seperti menggendong tubuh di atas tubuh sendiri. Semoga aku tidak tersesat. Aku hanya berjalan dengan keyakinan, mencarimu. Aku tak punya apapun untuk aku bawa padamu. Aku takkan keluar tanpamu. Tapi kau dimana? Aku tertatih sambil membayangmu menangis, ketakutan, kedinginan, kehausan, kelaparan. Semoga kau tidak habis daya. Lukamu akan tambah parah. Jangan kemana-mana, menunggulah di tempat yang kau rasa aman. Aku yakin akan menemukanmu. Jalan keluar sudah menanti.
Di depanku pintu terbuka. Di sana cahaya terlihat. Itu bukan pagi. Itu jalan keluar. Yah, jalan keluar. Tapi kau dimana? Aku khawatir. Serigala-serigala malam makin gaduh. Aku harap mereka tidak menemukanmu atau mengendus bau lukamu. Tak peduli aku dengan luka di kaki, darah mengalir. Aku berbalik mencarimu dan menandai arah jalan keluar. Hutan makin mencekam. Langit berubah hitam. Awan menyilang-nyilang. Gerimis berjatuhan.
Aku mendengar suara. Seperti memanggil. Seperti lenguh nafasmu yang mulai menggigil. Serigala-serigala turun gunung. Mereka di hutan! Mereka mencium darah. Kaukah itu? Kencang lariku menghampiri. Perlahan tapi pasti keyakinanku membesar melejit. Aku menemukanmu! Kau ternyata menungguku. Kau mendengar suara hatiku. Pekamu terobati. Sabarku terjawabi. Kita saling berhadapan. Saling menemukan. Kau tersenyum sambil merintih haru. Aku semringah tak mampu berucap sesuatu. Tanganmu kuraih, tubuhmu kupeluk. Ternyata begini rasanya menyatu. Hangat, saling mendamaikan. Kita saling memapah. Menghindari sebisa mungkin serigala-serigala kelaparan. Aku mengarahi jalan keluar. Kita lalui jalan dengan berani.
Di depan kita pintu terbuka. Di sana cahaya terlihat. Gerimis menyingkir. Melangkah kita keluar dari uji. Selamat! Kembara ini terkenang. Dalam dadamu, dalam dadaku. Bisumu sembuh, gelisahku luruh. Kita mulai bercerita tentang rasa yang dibenamkan senja. Aku urai cintaku, kau buka hatimu. Pagi ini kita belajar makna pertemuan. Karena esok dan esoknya lagi, ada sejarah yang akan kita kenang nanti. Tentang cinta yang saling memperjuangkan. Ternyata begini rasanya jatuh cinta, berpaut, saling menguatkan.
Kita harus saling menemukan sebelum matahari terbit! Tapi bagaimana bisa? Sedang kita tak saling mencari. Aduh, mengapa kita saling membutuhkan tapi enggan saling memperjuangkan. Kita harus saling menemukan. Titik! Kita sudah sama-sama terluka parah. Peluru menembus kaki kananku, reranting menggores-gores tanganmu. Kita mesti bekerjasama untuk keluar. Malam tambah pekat di sini, tambah mengikat. Obor yang aku bawa akan segera padam. Habislah aku. Kau dimana? Aku mencari kemana-mana tak kentara. Kau tak membawa secahayapun? Kau baik-baik saja? Aku khawatir padamu. Beri tanda padaku tentang keberadaanmu. Buat sayatan di batang pohon atau jejak kaki membekas.
Malam ini kita belajar arti kehilangan. Sebab kemarin dan kemarinnya lagi kita hanya bungkam mengakui segala rahasia. Aku masih belum mengerti tentangmu, kau tak mengucap sekatapun padaku. Kini senja tiba-tiba datang menyeretmu dan menyeretku. Membawa kita jauh ke dalam labirin hutan. Aku dengar terakhir kau berteriak memanggil namaku bukan yang lain. Ada apa? Aku masih belum mengerti. Mengapa namaku? Bukankah kau tak pernah memikirkan aku?
Aku nyaris terjebak di rawa. Ditelan habis lumpur hisap. Aku tak mau berdebat dengan kepalaku tentang teriakanmu tadi. Aku akan mencarimu. Labirin ini pasti punya ujung, punya pintu keluar. Kita sedang diuji. Percayalah! Menguji sabarku, menguji pekamu. Aku harap kau segera sadari itu dimanapun kau berada. Cari petunjuk. Apapun. Malam makin hening, dingin, suram. Gelap mulai meradang. Cahaya langit tertutupi garang awan-awan hitam. Sesekali raungan binatang buas memecah hening bisu pepohonan besar.
Bulan di atas kepala redup remang. Kelam menganga. Jalan kusut mengambang. Aku lari menembus semak menembus ilalang. Kakiku letih, memincang perih darah mengalir. Sebuah batu aku duduki memindahkan lelah bercampur gelisah merayapi hati. Keringat tumpah menikam noda-noda di baju. Pakaianku tampak kecut. Suara-suara gaib menyambar-nyambar telinga. Seolah mengajak pulang. Tapi jalan keluar belum juga kentara. Dan, ah, kau dimana? Tanda apa? Keadaanmu?
Berjalan aku tergopoh-gopoh. Seperti menggendong tubuh di atas tubuh sendiri. Semoga aku tidak tersesat. Aku hanya berjalan dengan keyakinan, mencarimu. Aku tak punya apapun untuk aku bawa padamu. Aku takkan keluar tanpamu. Tapi kau dimana? Aku tertatih sambil membayangmu menangis, ketakutan, kedinginan, kehausan, kelaparan. Semoga kau tidak habis daya. Lukamu akan tambah parah. Jangan kemana-mana, menunggulah di tempat yang kau rasa aman. Aku yakin akan menemukanmu. Jalan keluar sudah menanti.
Di depanku pintu terbuka. Di sana cahaya terlihat. Itu bukan pagi. Itu jalan keluar. Yah, jalan keluar. Tapi kau dimana? Aku khawatir. Serigala-serigala malam makin gaduh. Aku harap mereka tidak menemukanmu atau mengendus bau lukamu. Tak peduli aku dengan luka di kaki, darah mengalir. Aku berbalik mencarimu dan menandai arah jalan keluar. Hutan makin mencekam. Langit berubah hitam. Awan menyilang-nyilang. Gerimis berjatuhan.
Aku mendengar suara. Seperti memanggil. Seperti lenguh nafasmu yang mulai menggigil. Serigala-serigala turun gunung. Mereka di hutan! Mereka mencium darah. Kaukah itu? Kencang lariku menghampiri. Perlahan tapi pasti keyakinanku membesar melejit. Aku menemukanmu! Kau ternyata menungguku. Kau mendengar suara hatiku. Pekamu terobati. Sabarku terjawabi. Kita saling berhadapan. Saling menemukan. Kau tersenyum sambil merintih haru. Aku semringah tak mampu berucap sesuatu. Tanganmu kuraih, tubuhmu kupeluk. Ternyata begini rasanya menyatu. Hangat, saling mendamaikan. Kita saling memapah. Menghindari sebisa mungkin serigala-serigala kelaparan. Aku mengarahi jalan keluar. Kita lalui jalan dengan berani.
Di depan kita pintu terbuka. Di sana cahaya terlihat. Gerimis menyingkir. Melangkah kita keluar dari uji. Selamat! Kembara ini terkenang. Dalam dadamu, dalam dadaku. Bisumu sembuh, gelisahku luruh. Kita mulai bercerita tentang rasa yang dibenamkan senja. Aku urai cintaku, kau buka hatimu. Pagi ini kita belajar makna pertemuan. Karena esok dan esoknya lagi, ada sejarah yang akan kita kenang nanti. Tentang cinta yang saling memperjuangkan. Ternyata begini rasanya jatuh cinta, berpaut, saling menguatkan.
2016, Fadly Fahry S. Wally
Komentar
Posting Komentar